http://www.iberita.com/wp-content/uploads/2014/05/Dawn-of-the-Planet-of-the-Apes.jpg
http://www.iberita.com/wp-content/uploads/2014/05/Dawn-of-the-Planet-of-the-Apes.jpg

Entahlah karena imaginasi yang terlalu tinggi atau karena terlibat aktif dalam politik sekarang ini. Saat nonton film Dawn of The Planet of The Apes (DOTPOTA) seperti sedang menonton pertandingan antara Prabowo vs Jokowi.

DOTPOTA sendiri merupakan lanjutan dari film Raise of The Planet of The Apes (ROTPOTA) yang mengungkap sebuah tatanan dunia baru (masa kini) yang menempatkan sang kera yang telah dikembangkan secara genetis. Caesar (Andy Serkis) kembali tampil dasyat sebagai pemimpin sebuah koloni kaum kera di hutan yang terletak di San Fransisco. Tak hanya menjadi pemimpin, Caesar juga telah memiliki keluarga kecil yang selalu menyerukan perdamaian kepada kaum-kaumnya. “kera tidak suka membunuh, kera tidak suka berperang, yang suka membunuh dan berperang adalah manusia”.

Namun, semua itu berubah ketika kaum manusia yang survive dari wabah flu simian (flu yang berasal dari virus kera yang dikembangkan oleh para ilmuwan) kehabisan daya sehingga harus menuju bendungan yang terletak tak jauh dari rumah kera. Bendungan tersebut diyakini mampu menghasilkan daya listrik untuk keberlangsungan hidup manusia. Kedatangan manusia membuat kera merasa terancam.

Sebagai pemimpin yang benci dengan peperangan, Caesar mengizinkan manusia untuk pergi ke bendungan dengan syarat tidak membawa senjata apapun. Adalah Malcolm (Jason Clarke), manusia yang baik yang mampu meyakinkan Caesar tidak akan terjadi apa-apa, manusia hanya butuh daya. Jika kotanya kembali bercahaya maka dirinya akan kembali tanpa melukai kaum kera sedikitpun.

Berbalik dengan Caesar, teman sekaligus kera kepercayaannya, Koba (Toby Kebbell) hanya bisa mengingat kekejaman manusia selama menjadi objek percobaan. Di mata Koba, keberadaan manusia adalah ancaman maut bagi kera. Di pihak manusia, Dreyfus (Gary Oldman), pemimpin manusia yang selamat juga berpikiran sama terhadap keberadaan kera. Kemudian terjadilah konflik panas antara kera dengan manusia.

Film ini mampu menyeimbangkan kedua belah pihak. Tidak seperti kebanyakan film yang menggambarkan dengan jelas  mana yang baik dan mana yang jahat. Di DOTPOTA kita tidak bisa membedakan secara jelas, karena Antara kaum kera dan manusia sama-sama memiliki karakter yang baik dan jahat. Ada yang berupaya mencegah pecahnya perang Antara kedua kubu, ada juga yang melancarkan terjadinya perang.

Pada akhirnya, DOTPOTA bukanlah sebuah film yang menyoal pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah.  Mungkin ini yang membuat saya seperti menonton pertandingan antara kubu Prabowo dengan Jokowi. Masing-masing kubu berupaya untuk survive menemukan kondisi yang lebih baik di mata masing-masing pihak.

Dan setelah menonton film ini saya kemudian menyimpulkan:

1. Post – trauma leads to hate

    Perbedaan menjadi sesuatu yang perlu dipolitisir dan dijadikan alasan untuk saling membunuh. Kata hidup berdampingan secara damai yang telah tertuang di UUD 1945 sangat mudah untuk digesek, dimodifikasi, atau bahkan tak dihiraukan sama sekali demi eksistensi tunggal. Dalam bangsa kera, Caesar adalah sosok pemimpin ideal sebab dia pernah mendapatkan kasih sayang dari manusia. Sedangkan Koba mengalami masa lalu buruk dari manusia sehinggan diotaknya adalah “ape is better than human”.
    Di Indonesia, begitu mudahnya orang menanamkan paham kebencian terhadap perbedaan. Jika orang-orang yang diotaknya tumbuh subur kebencian ini nantinya bersebrangan dengan kepemimpinan yang cinta damai dan akan tercipta Koba-Koba baru yang memanipulasi kebenaran demi kebenciannya. Adegan Koba menembak Caesar dengan senapan dan memproklamirkan kepada bangsa kera adalah simbol bahwa orang-orang yang tertanam kebencian dalam kepalanya akan menghalalkan segala cara, termasuk membunuh, mengkudeta, dan memanipulasi rakyat agar membenci pihak yang dimaksud. Sekali rakyat terpengaruh kebenaran yang dimanipulasi, mobilisasi massa akan begitu mudah.

2. Conscience leads to a clear mind, questioning the deviant

    Namun, selalu ada pihak yang mempertanyakan aksi kebencian dan kejahatan tersebut. Para kera yang berkontak langsung dengan Malcolm menyadari bahwa tidak semua manusia jahat tidak ikut dalam rencana Koba untuk menyerbu San Fransisco.

3. Unavoidable war, yet the leader resist to flee

Caesar menolak usul Malcolm untuk membawa keluarganya kembali ke hutan. Caesar menyongsong perang yang tak terhindarkan dari tentara manusia. Pemimpin yang tidak bersalah, namun bersikap kstaria dan menerima risiko perang tersebut. “Maafkan saya Malcolm, saya tidak akan kembali. Saya akan tetap disini untuk berperang. Kita yang telah memulai peperangan dan manusia tidak akan memaafkan. Sebaiknya kamu yang pergi dari sini,” kurang lebih Caesar berkata seperti itu kepada Malcolm.

Saya ingin Indonesia belajar dari film ini. Bagi semua para timses masing-masing kubu. Bahwa kebencian adalah hal yang sangat berbahaya. Dalam lingkup luas, mudahnya perbedaan menimbulkan rasa benci dan dalam konteks kekuasaan dijadikan alat politik untuk berperang. Dalam lingkup kecil, bullying sewaktu sekolah dapat menghasilkan generasi penuh kebencian dan entah sebesar atau separah apa efek yang ditimbulkan ketika dewasa

Sumber: http://griyatawang.wordpress.com

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *