Hidup adalah misteri kata Dewa 19. Kita nggak akan tahu apa yang akan terjadi di masa depan; bertemu dengan siapa dan apa yang akan kita hadapi.

14 Agustus 2014

Menggendong tas ransel besar, pukul 9.00 pagi aku sudah sampai di kantor. Satpam membukakan gerbang kantor bingung rupanya. Biasanya aku datang siang dan menggunakan tas kecil ber-merk consina.

“Wah .. mbak mau naik gunung ya?”, tanya salah satu satpam. Aku membalasnya dengan senyuman dan segera berlalu menuju ruang kerja.

Yup, hari ini aku datang pagi dan membawa tas besar karena hendak pergi ke Palembang. Bukan untuk naik gunung lantaran mau mengibarkan merah putih saat 17 Agustus nanti. Bukan juga untuk jalan-jalan. Tapi aku mau mendaki impian yang selama ini terlupakan oleh kesibukkan yakni tes Wartawan Kompas penempatan Lampung.

Rencananya menuju Palembang aku naik pesawat Citi Link dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta pukul 5.10 sore. Tiket sudah ditangan. Hendak mau menginap dimana aku juga sudah tahu. Mama yang biasanya paling ribet kalau anaknya pergi ke luar kota, kali ini tenang dan tak berkali-kali menghubungi via telepon seperti biasanya.

Saat mama tak menghubungiku, Silvana Maia-adik di Lembaga Pers Mahasiswa di Universitas Lampung yang ku kenal melalui dunia maya sejak beberapa tahun lalu, berkali-kali menghubungiku via whats app. “Mba saya berangkat ya …. mba saya sudah d kereta .. mba nanti ketemu di stasiun ya … mba sampai Palembang jam berapa?”.

Di sela jam kerjaku aku dikagetkan pesan dari Maia. “Mba … saya ketemu dengan Vina, Pemred Teknokra, dia juga temen saya mba, dia mau test di Kompas juga”. Wow .. dunia sempit sekali ya, sebelumnya aku juga membaca status Irfa, teman saat bekerja di Radar Lampung dulu. Irfa akan pergi ke Palembang di tanggal yang sama dengan menggunakan kereta. Saat ku hubungi melalui inbox facebook, Irfa secara blak-blakan juga akan mengikuti test wartawan Kompas penempatan Lampung.

Pukul 3.00 siang aku ijin untuk pergi ke bandara. Sebenarnya antara Bandara Halim dengan tempat kerjaku tak jauh. Hanya saja kali ini aku mau naik kopaja dilanjutkan naik metro mini menuju ke Halim. Perkiraan membutuhkan waktu satu jam. Tapi saat keluar kantor, aku bertemu dengan assisten Pak Anies Baswedan, Kak Billy. Melihat tas yang kubawa sebesar itu maka dia panggilkan taxi. Karena tak hati dengan berat hati aku pun naik taxi yang sudah di pesan oleh Kak Billy.

Pukul 7.00 malam aku baru tiba di Palembang. Pesawat landing terlambat dari yang sudah dijadwalkan. Harusnya landing pukul 6.10 waktu Palembang. Handphone ku nyalakan dan ramai sekali pesan dari Maia. Katanya dia masih di kereta dan kemungkinan kereta baru tiba di Kertapati pukul 11.00 malam.

Semuanya di luar rencana. Aku nggak pernah menyangka akan seperti ini. Baru pertama kali datang ke Palembang tak ada saudara dan bandara Palembang juga tidak menyediakan bus damri. Transportasi untuk menuju Kertapati hanya dua Taxi dan ojek. Itupun ongkosnya sangat mahal. Berkisar Rp. 75 ribu sampai dengan Rp. 100 ribu.

Di tengah kebingungan itu aku pun menuju mushola untuk sholat. Di mushola aku bertemu dengan seorang bapak. Bapak itu mengajakku untuk ikut motornya sampai depan pintu masuk bandara. Bapak itu juga memberikan petunjuk bagaimana cara ke Kertapati dan Kompas Gramedia di Jalan Angkatan 45. Dari situ aku tahu bahwa jarak Kertapati dengan Kompas Gramedia jauh. Aku harus naik mobil dua kali sedangkan tes wartawan Kompas besok pagi sekali.

Maia menelponku mengabarkanku bahwa ada ojek yang akan menjemputku nanti. Si tukang ojek ini tetangga tantenya, jadi aku tak perlu takut. Sebaliknya Vina menyarankanku untuk menginap di tempat temannya, Mutia, yang tak jauh dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Bukit.

Menimbang-nimbang jarak Kertapati yang jauh dari Kompas, akhirnya aku memutuskan untuk ikut tukang ojek pesanan tante Maia dan menerima tawaran Vina, meski aku tak kenal siapa Vina dan Mutia.

Pukul 9.00 malam, aku baru tiba di Unsri Bukit. Aku tak menyangka kalau jarak antara bandara ke Unsri cukup jauh. Sembari menunggu Mutia yang katanya akan menjemputku, aku mengobrol dengan para satpam di pos satpam Unsri.

Setelah 30 menit, Mutia datang menjemputku. “Hallo … Yus ya?,” tanya Mutia yang memakai kerudung dan menaiki motor bit itu. “Ya,” jawabku singkat sembari senyum. “Saya Mutia, lama menunggu?,” tanya Mutia lagi. “Nggak kok,” jawabku.

Tak menunggu lama, aku langsung naik motor. Mutia memboncengku sembari mengajakku mengobrol. Dari sini aku tahu, Mutia adalah teman temannya Vina dan belum bertemu dengan Vina sebelumnya. Mutia sendiri mahasiswi semester terakhir Unsri jurusan kelautan. Dia memiliki motivasi yang sangat tinggi. Sehingga aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dan Himpunan Mahasiswa Kelautan. Selain itu juga pernah mengikuti ekspedisi maritim skala nasional dan program kelas inspirasi yang diinisiasi oleh Anies Baswedan.

Tak lama, hanya sekitar 15 menit aku sudah tiba di rumahnya Mutia. Rumahnya sederhana dengan beberapa kendaraan terparkir di depan rumah. Mutia mempersilahkan aku masuk kedalam rumah. Aku disambut ibu dan adiknya. Ibu Mutia seorang guru SMA di Palembang. Sedangkan Ayah Mutia seorang anggota DPD fraksi PDI-P. Mutia punya dua adik, satu perempuan dan satu laki-laki. Masing-masing kini duduk dibangku SMA dan SD.

10375916_10202872212471698_888096267903082633_n
Dari kiri, Ana, Vina, aku, dan Delvira. Kami berempat adalah peserta tes Kompas dan berhasil lulus tahap seleksi pertama.

Aku dipersilahkan untuk istirahat di kamar mininya. Sementara Mutia tidak bisa menemaniku karena dia harus masak makan malam untukku. Ku rebahkan tubuhku di kasur empuk itu. Lelah tak terasa ketikaku melihat beragam motivasi dan aneka gambar tentang laut yang tertempel di dinding kamar Mutia. Super sekali. Mutia piawai sekali memotivasi dirinya sendiri. Gadis yang memiliki mimpi tinggi pasti.

Mutia kerap bolak-balik ke kamar. Dia menanyakan Vina sudah sampai mana, karena sudah pukul 11 malam, tapi Vina tak kunjung datang. Aku sendiri sudah mencoba mengontaknya. Vina dan Maia masih di jalan. Kereta mengalami keterlambatan. Kemungkinan pukul 12 malam baru sampai di Stasiun Kertapati. Benar saja, pukul 12 malam, Vina sampai di rumah Mutia. Dia di antar oleh teman Mutia menggunakan motor. Aku pun keluar menyambut Vina. Jujur aku pun sangat penasaran dengan Pemred Teknokra yang terkenal kritis dan idealis itu.

Lampu teras Mutia remang-remang. Mataku berusaha keras untuk melihat Vina dari kejauhan. Terkejut. Aku sepertinya mengenal sosok gadis itu. Gadis yang pernah kutemui sekitar tahun 2008 atau 2009 di pelatihan menulis Lingkar Pena. Aku tak ingat pasti. “Halo mba Yus, apa kabar?,” sapa Vina. “Vina … Ya Allah … aku sih tahu Vina ini,” jawabku sontak terkaget-kaget. “Iya mba .. ini Vina, aku juga sudah cerita sama Maia,” jelasnya.

Dunia ini sempit sekali. Lagi-lagi aku berguman seperti itu. Bagaimana mungkin kita bisa dipertemukan kembali di tempat asing yang belum kita tapaki sebelumnya. Sedangkan aku selama ini telah melalang buana hingga Jawa Timur lalu ibukota.

15 Agustus 2014

Pagi-pagi sekali kami sudah bangun. Bahkan Vina sudah mandi dan sholat. Terdengar suara gaduh dari dapur. Rupanya Mutia dan keluarga sudah bangun menyiapkan makanan untuk kami. Tes pagi ini dimulai pukul 8 pagi. Keluarga Mutia tampak mengerti atau memang seperti ini keseharian mereka. Aku tak tahu.

Pukul 7 pagi, aku dan Vina sudah rapi. Aku memakai kemeja biru dengan blezer. Vinapun sama memakai blezer tapi dipadukan dengan kaos. Kami sangat semangat pagi itu. Mutia mengajak kami sarapan. Pagi itu kami disuguhi empek-empek, makanan khas Palembang.

Jam sudah menunjukkan pukul 7.30. Mutia mengantarkan kami ke Graha Kompas Gramedia  di Jalan Angkatan 45. Dia mengajak sepupunya, karena tak mungkin baginya membonceng kami bersamaan. Rupanya Mutia tak tahu dimana Graha Kompas. Kami sempat berputar-putar. Ternyata tempatnya tak jauh dari sebuah mall, Palembang Square. “Sukses ya buat kalian. Semoga tesnya lancar,” ujar Mutia menyemangati kami ketika sampai di Kompas.

Masuk ke gedung, kami disambut oleh pak satpam. Gedung kompas tak seperti gedung perkantoran umumnya. Seperti rumah biasa dan hanya memiliki dua lantai. Lantai pertama hanya ada satu kursi sofa dan meja.  Baru di lantai dua banyak ruang kerja. Kami dipersilahkan untuk menuju lantai dua.

Baru ada satu peserta. Seorang laki-laki meyuruh kami untuk mengisi daftar hadir dan lembar riwayat hidup yang harus kami serahkan secepatnya. Karena tes wawancara akan dimulai ketika kami menyerahkan lembaran itu. Seorang peserta yang tak kami kenal itu juga sedang mengisi lembaran yang sama. Dia kemudian memperkenalkan diri. Delvira namanya. Lulusan salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Ambil jurusan ekonomi tapi anggota persma seperti kami. Delvira sangat ramah sekali. Memiliki rambut lurus dan panjang serta badan yang tinggi semampai. Cocok sekali menjadi jurnalis.

Tak lama setelah itu datang lagi seorang peserta lagi. Tingginya sama denganku. Memakai kerudung dan terlihat masih muda. Saat itu dia memakai kemeja ungu dipadukan dengan celana hitam dan kerudung ungu. Tak ada bedanya dengan Delvira dia sangat ramah, menyapa kami. “Halo kenalkan saya Ana dari Jambi,” kenalnya. Ya .. Ana berasal dari Jambi. Baru lulus dari jurusan ekonomi Universitas Sebelas Maret.

Delvira yang sudah selesai mengisi. Dipanggil terlebih dahulu untuk wawancara. Saat kami menunggu, kami mengobrol banyak hal. Rasanya seperti sudah kenal lama. Vina lalu bertanya, “Kita cuma berlima aja nih”. “Lima?,” tanya Ana. “Iya ada satu lagi temenku dari Lampung. Tapi keretanya terlambat,” jelasku. Aku ingat, tadi aku sempat isi daftar hadir dan disitu tertulis enam orang. Maka aku coba untuk mengeceknya lagi. Delvira, Siti Rahmana, Vina Oktarina, Yusnaeni, Irfason, dan Hairul. “Hairul,” gumanku. Nama itu tentu tak asing. Hairul dari Provinsi Bangka Belitung. Ya .. Hairul atau Irul. Teman seperjuanganku saat menjadi wartawan Radar Lampung dulu. Setengah percaya.

Satu jam kemudian, Delvira keluar dari ruang tes. Wajahnya tampak pucat. Duduk lalu menggerutu. Belum sempat aku mendengarkan ceritanya, aku sudah dipanggil untuk masuk. Kini giliranku. Di dalam ruangan aku tampak tenang menjawab semua pertanyaan dari kepala HRD dan redaksi Kompas. Hingga akhirnya akupun bergemetar ketika mereka memerintahkanku untuk menelpon Pak Anies Baswedan untuk membuktikan seberapa dekat aku dengannya. Satu jam lamanya aku bisa mengatasi itu. Aku kembali ke ruang tunggu dan menggerutu. Sama seperti Delvira.

DSC_0274
Aku bersama dua teman lamaku, Hairul dan Irfa. Kami bertiga pernah menjadi wartawan Radar Lampung.

Giliran Vina yang masuk. Aku mengobrol banyak dengan Delvira dan Ana. Lalu Irfa menelponku. Dia sudah sampai. Aku senang sekali karena setelah sekian lama aku tak bertemu dengannya. Kini dipertemukan lagi oleh Tuhan. Dengan misi yang sama. Menjadi wartawan nasional, Kompas. “Irfa .. alhamdulillah, akhirnya loe sampai juga. Tadi gue udah ngomong sama pihak Kompas dan mereka memakluminya,” jelasku panjang lebar.  “Iya gue juga udah nelpon kok tadi. Apa kabar loe, makin subur aja sih,” respon Irfa. “Ahaha iya nih, oh iya, kalau nggak salah tadi ada satu peserta namanya Hairul. Itu Irul bukan sih,” tanyaku. “Ahahaha, iya … itu somple,” jawabnya. “Hah … loe kok nggak ngomong sih?,” aku menyalahkan Irfa dan dia membalasanya dengan tertawa.

Tak lama Irfa datang dan mengisi daftar hadir serta lembar riawayt hidup. Sesosok pria yang tentunya sangat tak asing bagiku terengah-engah menapaki tangga menuju lantai dua. “Irul ……,” teriakku. “Halo Yus … apa kabar loe. Akhirnya kita ketemu lagi,” kata Irul yang tampak agak sedikit berbeda dengan pipinya yang makin chubby.

Dunia ini misteri. Kita tak pernah tahu akan bertemu dengan siapa, dimana dan kapan. Pertemuan terjadi bukan karena kebetulan. Tentunya sudah ada yang mengatur. Yakni Allah, pemilik alam semesta. Apa yang akan terjadi setelah ini menjadi misteri dan kita akan mengerti suatu hari nanti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *