Banyak orang yang mempertanyakan tentang hobi saya, mendaki gunung.
“Kenapa?”
“Nggak takut?”
“Uangnya nggak ditabung aja?”
Dan sebagainya.
Pertama kali mendaki gunung tentu takut. Apalagi saya memiliki phobia ketinggian. Tapi banyak hal telah saya dapatkan ketika saya menjalaninya. Tentang pelajaran hidup, teman baru dan pengalaman-pengalaman luar biasa.
Saya akan coba beberkan kembali tentang hal diatas.
- Asal Berani Melangkah, Sesuatu yang Impossible jadi Possible
Juni 2013 saya mendaki Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 Meter Di atas Permukaan Laut (MDPL). Waktu itu kondisi saya sedang tidak sehat. Tapi saya memaksakan diri untuk summit ke puncak. Medan menuju puncak Mahameru sangat sulit. Trek didominasi oleh pasir, kerikil dan batu dengan kemiringan sekitar 60-80 derajat. Kaki ini melangkah satu langkah malah turun dua langkah. Belum lagi kalau ada bongkahan batu yang tiba-tiba meluncur dari atas. Memaksa saya untuk berhenti.
Saya mau nyerah. Mau turun ke bawah. Saya sudah mendaki kurang lebih 10 jam, tapi sampai dengan pukul 7.00 pagi, puncak belum memperlihatkan dirinya. Sementara batas waktu berada di puncak pukul 9.00 WIB. Tapi saya bingung karena sudah terlanjur mendaki. Ditengah kebingungan itu, saya bertemu dengan serombongan bapak-bapak. Dia menyemangati saya. “Jalan terus, jangan liat ke atas. Kalau kamu punya mimpi, lama-lama juga sampai puncak.”
Saya pun mengikuti nasehat bapak-bapak tadi dan pada pukul 8.00 WIB saya sampai puncak. Rasanya campur aduk, sedih, nggak nyangka dan seneng. Dari situ saya belajar, gunung kalau dilihat dari bawah memang tinggi. Tapi ketika saya memberanikan untuk melangkah perlahan demi perlahan, saya bisa sampai puncak juga. Ini sama dengan ketika memiliki mimpi. Terkesan nggak mungkin. Tapi kalau kita memberanikan diri untuk melangkah, meskipun sedikit demi sedikit, mimpi itu pasti akan terwujud.
2. Dalam Meraih Mimpi Butuh Persiapan Ekstra
Naik Gunung memang nggak gampang. Butuh persiapan yang ekstra, latihan keras (dengan jogging dan lain-lain), mental dan kesabaran. Pernah saya mendaki Gunung Gede. Ini gunung pertama kali saya daki. Waktu itu persiapan saya hanya alakadarnya. Saya memang berhasil sampai puncak dengan keyakinan, keberanian dan kesabaran yang luar biasa, tapi saya hampir kena hyportemia karena memakai jaket biasa, bukan khusus untuk mendaki. Sepatu saya juga jebol karena saya memakai sepatu biasa. Alhasil kaki saya lecet-lecet. Semenjak itu, setiap kali saya mau mendaki, persiapan saya lakukan jauh-jauh hari. Bisa satu bulan, tiga bulan, enam bulan bahkan satu tahun. Itu juga saya lakukan dalam menggapai impian.
3. Hidup Nggak Bisa Sendiri, Butuh Orang Lain
Saat mendaki Gunung Rinjani pada Mei 2014 kaki saya terkilir. Jalan saya pun lambat. Dua rekan saya menawarkan bantuan membawakan tas saya. Mereka secara bergantian membawakannya padahal beban tas mereka sendiri sudahlah tentu berat. Cidera ini membuat kami bertiga ketinggalan dari teman-teman lain. Alhamdulillah, saat menjelang magrib kami tiba di pos … (entah saya lupa) dan bertemu dengan lima teman saya. Karena hari sudah mau malam, kami memutuskan untuk berjalan beriringan. Kami menembus hutan dengan akar-akarnya yang meranggas di kegelapan. Menghalangi kaki kami untuk berjalan dengan cepat. Kami pun saling memberi notifikasi saat melihat akar dan batang pohon yang tumbang.
Malam makin larut, tapi kami belum juga tiba di pintu rimba. Rasa lapar mendera, memutuskan kami untuk berhenti sejenak-memasak air hangat yang berenergi. Kami meminumnya secara bergantian. Lelah, takut, seketika sirna ketika gelak tawa mewarnai kami. Saya pun belajar, bahwa hidup itu tidak bisa sendiri. Butuh orang lain untuk mengiringi langkah-langkah kita.
4. Kenangan yang Tak Terlupakan
Naik gunung beda sama shooping, yang beli barang-barang setelah barang itu rusak dan tak lagi update yang setelah itu cuma bisa dibuang, dijual dan disimpan bersama barang rongsokan lainnya. Tapi naik gunung akan menjadi butiran-butiran kenangan yang akan selalu tersimpan lewat memori kita, foto, tulisan dan lain-lainnya. Kita bisa menceritakan kembali ke orang-orang, anak dan cucu kita nanti. “Saya pernah lo ndaki gunung A, gunung B. Indah banget.”
5. Lebih Semangat Bekerja
Mendaki gunung butuh persiapan. Salah satunya uang. Perlengkapan untuk mendaki nggak murah. Rata-rata tas khusus untuk mendaki sekarang ini Rp. 500 ribu. Bahkan yang jutaan banyak. Semakin bagus maka harga tas tersebut semakin mahal. Lalu sepatu yang safety harganya bisa mencapai jutaan juga. Itu baru tas dan sepatu belum perlengkapan lainnya.
Sementara jika kita mau mendaki gunung di luar daerah kita harus beli tiket pesawat yang terbilang mahal. Seperti ketika mau ke Rinjani, kita butuh tiket pesawat Jakarta-Lombok dan harganya sekitar Rp. 800 ribu. Pokoknya kalau ditotal-total dalam satu kali pendakian bisa mencapai jutaan rupiah.
Tapi itu justru tantangannya. Kita jadi lebih semangat bekerja. Berangkat lebih pagi dan pulang sampai larut malam. Juga tidak sembarangan ambil cuti atau nggak masuk kantor. Karena mendaki gunung juga butuh waktu cukup lama.
5. Pergaulan dan Wawasan Luas
Beberapa kali saya ikut pendakian open trip seorang diri. Saya tak kenal dengan orang-orang yang ikut gabung pada trip tersebut sebelumnya. Disini saya berkesempatan mendapatkan teman-teman baru yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Karena latar belakang mereka yang berbeda itulah saya juga mendapatkan wawasan baru.
6. Lebih Berani
Saya sebenarnya penakut. Takut sendiri, gelap, ketinggian dan air dalam jumlah banyak, seperti, laut, danau, sungai dan lain-lain. Tapi ketika saya mendaki ketakutan-ketakutan itu sama sekali tidak terjadi. Saya jadi tahu bahwa ketakutan-ketakutan saya selama ini berasal dari pikiran negatif saya. Dan kalau takut dengan apa-apa maka saya nggak akan kemana-mana. Nggak akan tahu kalau Indonesia begitu kaya dan memiliki alam yang sangat mempesona.
Itulah beberapa alasan saya, kenapa saya mendaki gunung. Catatan penting yang mesti diingat adalah tujuan utama mendaki gunung bukanlah puncak, puncak itu bonus, yang terpenting adalah pulang dengan selamat dan menghayati proses selama pendakian itu sendiri.