Sudah tiga tahun saya hidup di Jakarta. Tapi wajah Jakarta tak juga berubah. Macet, polusi dan korupsi menjadi masalah yang tak kunjung usai―seolah memang tak ada lagi solusi. Permasalahan itu tak pernah basi bagi media untuk memberitakannya setiap hari. 995187_10200390186782607_252306854_n Beragam upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi hal ini. Pembuatan jalur alternatif, pembangunan taman dan pendirian instansi pemberantas korupsi sampai dengan sosialiasi. Namun hasilnya nihil. Semakin hari Jakarta dipadati oleh mobil-mobil mewah sementara jalur alternatif tak efektif. Armada transportasi yang belum memadai hingga antrian panjang di loket masih sering terjadi. Sementara itu wajah-wajah koruptor menghiasi koran-koran pagi.

Dengan segala permasalahannya, justru Jakarta bagi saya tetaplah kota yang istimewa. Dia menjadi ibu bagi para pemimpi yang datang dari segala penjuru daerah dan masih menjadi kota yang mengagumkan bagi orang-orang di pelosok desa. Jakarta dengan kemacetanya justru menjadi mesin pencetak uang. Kota yang paling sering banjir, namun menjadi tempat perputaran uang yang demikian cepatnya hingga menarik orang dari penjuru dunia untuk berinvestasi. Untitled Jakarta bukan kota hijau. Tapi kota yang dipenuhi dengan beton raksasa yang mengimpit rumah-rumah mungil di dalamnya. Tapi lihat, gembel masih bisa makan, bernafas dan beranak pinak. Orang-orang berdasi hidup dengan segala kemewahannya.

Dimulai ketika matahari terbit, mereka bersama-sama keluar rumah mencari rejeki―mengejar setoran. Beberapa rela berdansa bersesakan di sela kendaraan. Senyum mereka akan merekah ketika lampu tak lagi merah. Ada harapan yang dibawa bersama pagi dan terkumpul pada kaca gedung yang memantul.

P1030807

Siang hari, Jakarta bisa berubah tiba-tiba panas. Uniknya tak menyurutkan pejalan kaki menyusuri jalanan ibukota. Para pedagang memenuhi trotoar dan duduk bersama dengan para polisi. Sedangkan parkir akan penuh dengan kendaraan motor dan mobil pribadi. Penjual es kebanjiran rejeki.

Saat malam tiba, kota ini tetap hidup. Dia begitu pandai menyembunyikan matahari dan sisi-sisi gelap dengan lampu-lampunya yang mempesona. Mal-mal dan kafe-kafe yang berdiri akan menjadi tempat untuk melepas penat bagi mereka pencari rejeki. Sementara sosial media ramai seketika berisikan keluhnya tentang Ibukota.

Dark

Itulah Jakarta. Kota kejam yang membuat penduduknya menjadi tangguh-tetap bertahan meskipun penuh dengan keluh dan peluh. Dengan kondisi air, udara dan langitnya tak lagi bersih, namun Jakarta masih menjadi kota kesayangan bagi jutaan manusia di negeri ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *