wp_20160630_16_46_45_pro

Membaca “Haokiao dari Jember” membuat saya resah malam ini – tak bisa tidur. Alurnya enak dibaca. Enggak bertele-tele. Endingnya menakjubkan. Penulis menceritakan dirinya dari sudut pandang orang lain. “Kok bisa kepikiran nulis kayak gini?”

Tulisan itu dibuat oleh Andreas Harsono menjelang pernikahannya. Darinya saya tahu, mentor saya itu dulunya suka sekali “curhat” di buku diary.

Tahun 2014 di Indonesia sedang ada pesta demokrasi. Media cetak, online, dan televisi tak pernah absen membahas topik seputar ini. Beberapa universitas dan lembaga swasta juga tak mau kalah-mereka membuat diskusi. Saya yang anti politik pun latah ikut-ikutan datang ke diskusi meskipun hanya duduk diam mendengarkan.

Suatu hari saya datang ke diskusi di Universitas Indonesia. Pembicaranya dari Lembaga Survei terkemuka di Jakarta. Waktu itu saya dapat soft copy materi. Saat hendak pulang, kertas saya masukkan dalam tas. Tapi saya dikagetkan dengan hilangnya barang yang sangat berharga dalam hidup saya.

“Mbak ada buku kecil warna kuning di mejaku?” Tanya saya kepada rekan kerja melalui telepon gengam.

“Iya ada.”

“Mbak tolong simpankan dalam lemari.”

“Itu buku apa sampai sepanik itu minta simpankan?”

“Buku diary.”

Telepon kemudian bergemuruh. Terdengar gelak tawa dari tempat yang berjarak belasan kilometer dari tempat saya berdiri.

“Kamu itu jaman secanggih ini kok masih nulis di buku diary. Kamu kan punya handphone, laptop.” Sejak itu saya di-bully.

Malu? Iya. Tapi saya senang menulis di buku diary. Kebiasaan itu masih saya lakukan sampai sekarang. Bahkan, saya mempunyai buku diary khusus traveling. Beberapa kali solo traveling ke Asia Tenggara, buku diary bertuliskan “Le Petit Prince” disampulnya itu saya jadikan “teman bicara”. Saya tak kesepian. Segala kejadian baik maupun buruk yang saya alami ketika di perjalanan justru terekam dengan baik.

wp_20160630_16_25_36_pro

Sewaktu saya kuliah saya tergila-gila dengan buku catatan harian Soe Hok Gie. “Hoakiao dari Jember” mengingatkan saya tentang ini. Soe Hok Gie senang menulis kegelisahan dan pemikirannya di buku diary sejak duduk di bangku SD. Kebiasaan ini membuatnya piawai dalam menulis. Karya-karyanya banyak dimuat di media dan catatan hariannya dijadikan buku juga film.

Pagi ini ketika saya mulai ingin mengakhiri tulisan saya, rasa malu itu hilang. Ada kebanggan karena kebiasaan menulis buku diary adalah kebiasaan dua orang yang saya kagumi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *