Kemarin sore saya terhubung kembali dengan seorang kawan lama. Teman yang lima tahun lalu pernah menjadi teman sekamar saya di kamar kost di tengah Kota Bandar Lampung. Kami memulai percakapan tak biasa. Dia memulainya tanpa kalimat basa-basi seperti apa kabar.
“Teman sekamarku dulu pernah punya banyak mimpi. Sekarang satu per satu impiannya terwujud. Aku senang melihatmu sekarang,” katanya seolah jari jemarinya mengagumi saya saat itu.
“Alhamdulillah, semua impian itu terwujud,” demikian saya membalasnya.
“Kamu beruntung. Lingkunganmu mendukung untuk bisa mewujudkan impianmu. Tidak sepertiku lingkungan justru menghambatku. Menjadikanku penakut,” balasnya seolah tahu tentang hidup saya.
Kalimat itu bukan pertama kalinya saya baca atau dengar. Tak aneh. Orang-orang sukses di dunia ini juga menghadapi hal yang sama. Mereka dianggap mudah meraihnya padahal di balik itu mereka harus berjuang susah payah untuk mewujudkan.
“Kamu juga bisa kok. Jadi orang gila saja. Kenapa aku bilang begini? Akupun sepertimu mendapat celaan dari orang-orang sekitar bahkan keluarga tak mendukung. Lalu aku memilih untuk mengabaikannya. Jadi orang gila saja,” jelas saya berharap memotivasi.
“Aku ingin jadi orang gila. Tapi aku takut.”
“Lawan!”
Saya mempunyai pendapat sendiri tentang hidup. Hidup bagi saya adalah milik masing-masing orang. Hendak kemana dan mau jadi apa, kitalah yang menentukan. Hendak berjalan lambat atau cepat kita juga yang menentukan. Melawan rasa takut dan memenangkannya atau menyerah dan kalah dari rasa takut itu, kita juga yang menentukan. Bukan orang lain.
“Aku mau lawan rasa takut itu dan jadi orang gila,” katanya lagi.
Percakapan kemudian terhenti. Alarm berdering dari handphone yang saya letakkan di atas meja kantor mengingatkan bahwa saya harus segera bergegas. Sore itu saya diundang oleh seorang mentor untuk “menulis dalam diam” di sebuah kafe di Jakarta Selatan. Pesan-pesan kemudian muncul bergantian dari dua orang berbeda. Mereka juga akan mengikuti sesi menulis ini. Saya sendiri telah mengenal mereka belum lama ini di pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh Yayasan Pantau. Orang-orang hebat yang telah lama berkiprah di dunia NGO (Non Goverment Organization). Aktivis lingkungan dan HAM. Sementara mentor saya aktivis di dunia volunteerism.
Dulu sekali saat saya masih mahasiswi pernah tertarik sekali dengan stiker yang bertuliskan “Stop kekerasan dalam rumah tangga” dengan disertai gambar seorang wanita menempel di lemari kamar kost saya. Stiker itu milik kakak teman sekamar saya yang seorang aktivis kala itu. Saya kagum sekali dengannya. Tiba-tiba saya berkeinginan menjadi aktivis dan memasukkan bekerja di NGO dalam daftar mimpi saya.
Sore itu, saya tersadar, impian saya beberapa tahun lalu terwujud. Saya berada di dalam kantor NGO mengemasi barang-barang saya lalu berlari keluar untuk menjemput impian saya lagi. Menjadi penulis.
“Mbak mau hujan deras. Mending tunggu sebentar,” celetuk satpam kantor.
“Tapi mas saya bisa terlambat,“ lalu bergegas keluar menembus hujan yang turun rintik.
Untuk kesekian kalinya, sore itu saya jadi orang gila lagi.