Saat masih kuliah, seorang teman pernah mengatakan aku tak punya jati diri. Setiap kali kagum dengan seseorang, pasti aku ingin menjadi seperti orang tersebut. Aku pernah memiliki keinginan yang menggebu-gebu menjadi jurnalis karena ingin mengikuti Soe Hok Gie yang berani mengkritik pemerintah lewat tulisan. Setelahnya ingin mendaki Mahameru, lantaran aktivisi Indonesia Tionghoa itu menghembuskan nafas terakhirnya di gunung tersebut.

Usai membaca buku Kennedy, aku membayangkan diriku menjadi seorang pemimpin di negeri ini. Kennedy memberiku semangat untuk mengejar cita-cita meski lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja.

Suatu hari ketika tak ada satupun orang yang mau mendengarkan impianku, aku mencari dukungan sendiri. Dari buku dan artikel-artikel yang kubaca di internet, aku menemukan banyak cerita tentang  orang-orang sukses. Mereka mewujudkan impiannya setelah semua orang di sekitarnya mengatakan tidak mungkin dan melewati masa-masa sulit. Keyakinannya lantas tak pernah goyah, hingga akhirnya mereka membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini: MUNGKIN!

Akhirnya aku menemukan orang-orang yang mendukungku dari internet. Salah satunya Merry Riana. Bahkan beberapa bulan tinggal di ibukota, aku menjadi Financial Planner, profesi yang mengantarkan Merry menjadi miliarder muda.

Sejak diriku berhasil menginjakkan kaki di puncak Gunung Gede, aku semakin sering bertemu dengan orang-orang yang memiliki hobi traveling. Dari mereka, keinginanku untuk menjelajah dunia yang pernah kuutarakan ketika di bangku SD muncul lagi. Apalagi di tahun 2013, untuk pertama kalinya aku melakukan penerbangan  ke luar negeri. Aku terpaksa pergi karena ibu memintaku. Lalu mengajukan cuti kepada atasan untuk membuat paspor di imigrasi.

Buku “30 Paspor di Kelas Profesor” yang ditulis oleh Rhenald Kasali semakin meneguhkan bahwa paspor adalah gerbang melihat dunia lebih luas. Itu diperkuat dengan vlog perjalanan backpacker asal Malaysia Nazri Arshad a.k.a Moji, “Travelogue-Kembara Backpackers Bersama Moji” yang tak sengaja ku tonton pada 2015.

Moji melakukan perjalanan melalui perjalanan darat ke lima negara yaitu Malaysia, Thailand, Laos, Vietnam dan Kamboja. Pengembaraanya itu disiarakan secara realiti di channel Youtube sebanyak 13 episode. Berbekal paspor Moji bisa mengenal kebiasaan masyarakat, sejarah, dan makanan khas setiap negara. Ia bertemu banyak backpacker dari berbagai negara dan mengungkap alasan para backpacker dari berbagai belahan dunia melancong ke negara Asia.

Tak hanya cerita suka saja yang Moji bagikan kepada kami pecinta traveling. Di beberapa episode Moji memperlihatkan bagaimana perjuangannya melintasi satu negara ke negara lainnya. Ia pernah menginap di hostel dengan fasilitas seadanya demi menghemat, kehabisan uang, hingga ketinggalan barang di dalam bus. Ia bahkan pernah  menginap di dermaga menunggu kapal berikutnya datang dan menyebrangi sungai dengan rakit bambu.

Sebelumnya di pertengahan 2014, aku menemukan sebuah buku yang mengulas perjalanan seorang traveler. Judulnya, “Life Traveler” karya Windy Ariestanty. Buku itu menyampaikan pesan tentang arti dari setiap perjalanan yang dilakukan. Memanifestasikan makna dari setiap kejadian dan pertemuan dengan seseorang.

Salah satu kutipan dari buku Life Traveler, “Kadang, kita menemukan rumah justru di tempat yang jauh dari rumah itu sendiri. Menemukan teman, sahabat, saudara. Mungkin juga cinta. Mereka-mereka yang memberikan ‘rumah’ itu untuk kita, apa pun bentuknya. Tapi yang paling menyenangkan dalam sebuah perjalanan adalah menemukan diri kita sendiri: sebuah rumah yang sesungguhnya. Yang membuat kita tak akan merasa asing meski berada di tempat asing sekalipun. Because travelers never think that they are foreigners.” 

Kalimat itu membekas di pikiranku, maka saat teman-teman meninggalkanku di Bali seorang diri awal 2015, meski sedih aku tak merasa kesepian. Inilah awal solo traveling pertamaku.

Seorang teman dari pendakian Gunung Rinjani di tahun 2014, mengirimkanku poster informasi mengenai workshop menulis di Yogyakarta. Semenjak aku sering berkelana di banyak tempat, ada hasrat untuk membagikan pengalamanku kepada orang lain lewat tulisan. Kemudian aku nekat mendaftar. Kebetulan saat itu long weekend dan aku belum pernah mengeksplore panorama alam kota ini.

Aku baru tahu salah satu narasumber workshop adalah Anida Dyah, traveler dunia asal Indonesia yang telah berkelana hingga kutub utara. Anid telah menulis buku berjudul “Under The Southern Stars” yang berkisah empat traveler dari empat benua yang mengarungi alam Australia. Menjelajahi hutan eukaliptus, melintasi gurun, meniti patahan Antartika, hingga bertemu kanguru dan koala.

Di dalam sebuah gubuk bambu di tepi Pantai Watu Kodok, Anid membongkar cerita bagaimana dia memulai menjadi solo traveler. Diam-diam aku ingin seperti Anid, berusaha memperoleh visa work and holiday, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya di negeri orang, lalu menjelajah dunia ini. Aku ingin melihat pegunungan New Zealand dan hamparan bunga tulip di Belanda.

Jujur, bisa dibilang 70% dari hidupku karena terinspirasi dari hidup orang lain. Entah informasi itu aku dapatkan dari buku, internet maupun bertemu langsung. Bagiku mengagumi dan meniru mereka bukan tak punya jati diri. Namun, menemukan passion-ku yang sesungguhnya. Bagaimana cara aku akan menjalani hidup.

Nyatanya berkat mereka, aku bisa menjadi seperti sekarang. Menjadi pribadi yang tangguh dan berani — mewujudkan impian dan menjalani hidup yang kuinginkan. Yeah, menjadi traveler dan penulis lepas — ini aku yang sekarang.

Jakarta, 11 Agustus 2018

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *