Mas Wisnu Nugroho, wartawan senior Kompasiana.com pernah bilang, ada dua hal yang membuat kita panjang umur. Pertama adalah menulis, kedua adalah menikah dan menghasilkan keturunan. Saya senang, karena salah satunya sudah saya lakukan. Sampai kiamat tiba, selamanya saya akan hidup di dunia.

Menikah buat saya, sama halnya seperti kematian. Misteri. Hanya Tuhan yang tahu. Jadi, yang bisa saya pastikan untuk bisa hidup abadi adalah menulis.

Sebenarnya, saat masih kecil saya lebih tertarik dengan seni melukis dan musik. Sempat bercita-cita ingin menjadi seniman. Ingin kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Tapi orang tua tidak mengizinkan. Saya kubur impian itu dalam-dalam.

Di medio perjalanan hidup saya, kakak ketiga melanjutkan kuliah di jurusan bahasa dan sastra. Ada banyak novel, buku dan majalah sastra di rumah. Dia seringkali merekomendasikan koleksi bukunya itu untuk dibaca. Salah satu bukunya, ada yang sangat menginspirasi bagi saya. Judulnya “Tears of Heaven- From Beirut to Jerusalem”, yang menceritakan tentang pengabdian seorang dokter perempuan di Kamp Pengungsian Palestina. Sejak itu saya memiliki keinginan kuat untuk menjadi dokter dan kelak ingin menjadi relawan di negara-negara konflik, khususnya Palestina.

Kenyataannya hidup seringkali tidak seperti yang direncanakan. Impian saya menjadi dokter pun kandas. Dua kali mengikuti seleksi masuk fakultas kedokteran di perguruan tinggi negeri, gagal. Saya harus legowo menjalani kuliah di jurusan matematika dan gigit jari setiap melihat mahasiswa-mahasiswi kedokteran di kampus.

Bersama teman-teman pers mahasiswa seluruh Indonesia.

Di tahun pertama, kuliah di jurusan matematika membosankan. Materi kuliah lebih sulit dari yang dibayangkan. Teman-teman yang kutu buku, kalem dan kaku. Dosen killer dan pelit nilai. IPK semester dua dan ketiga anjlok. Nyaris nasakom (nasib satu koma). Untung, dua orang teman mengajak saya bergabung di lembaga pers mahasiswa. Di sana saya belajar tentang menulis, wawancara, fotografi dan desain. Saya banyak bergaul dengan para wartawan dan akhirnya menemukan passion saya. “Kalau menjadi relawan medis tidak mungkin, menjadi jurnalis internasional dan meliput negara konflik, masih bisa kan?”

Saya jadi rajin ke kampus. Semangat memperbaiki nilai untuk bisa mendapatkan beasiswa dan bekerja di media setelah lulus nanti. Alhasil lulus tepat waktu, mendapat nilai memuaskan, ijazah belum keluar saya sudah diterima menjadi jurnalis di media lokal. Awal yang baik untuk meloncat ke tujuan berikutnya.

Sampai sekarang saya masih menyimpan tulisan-tulisan yang pernah dimuat di koran. Ingin saya kliping, tapi belum sempat. Mujur, orang-orang yang hidup di era digital sekarang. Tak perlu repot-repot menggunting kertas. Bisa meninggalkan jejaknya di dunia maya. Tapi kalau belajar dari friendster, multiply, tumblr dan path yang kini tak bisa diakses lagi, menurut saya sebuah karya sebaiknya memang dibukukan. Walau pada akhirnya hanya mentereng di rak buku dan beberapa saja yang tertarik membacanya.

Bicara soal menerbitkan buku, teman-teman sudah mendorong saya untuk melakukannya. Katanya, saya seorang story teller. Mampu menceritakan kisah perjalanan dengan alur yang jelas dan runut. Sayangnya, saya belum percaya diri. Belasan tahun menekuni bidang tulis menulis, rasa-rasanya saya selalu menerbitkan karya yang jauh dari kata sempurna. “Itu penyakitnya penulis. Aku aja, sampai sekarang masih merasa tulisanku jelek kok,” kata Mbak Febri. Dia jurnalis senior untuk beberapa media internasional saat ini. “Tapi kalau merasa begitu terus, ya kapan nulisnya. Enggak ada yang sempurna. Kesempurnaan itu hanya milik Andra & the BackBone. Hahaha.”

Di awal bulan September, saya mendapatkan kabar baik dari Kompasiana. Saya terpilih menjadi 20 blogger berprestasi yang berhak mengikuti Danone Blogger Academy (DBA) 2018. Ada 700-an orang yang mendaftar, namun hanya 20 orang yang terpilih. Saya senang sekali mendengar itu, walau masih belum percaya. Pasalnya, saya hanyalah penulis blog di tempat bekerja. Konten yang pernah saya unggah di blog organisasi non profit itu, iseng-iseng saya daftarkan di program tersebut. “Eh, masuk nominasi.”

Saya bersama 19 blogger terpilih saat sedang mengikuti Danone Blogger Academy.

Saya bersama 19 blogger hebat dari berbagai wilayah Indonesia itu, diberi pelatihan dan wawasan soal kesehatan, lingkungan, air, sampah, fotografi, videografi, dan menulis. Kami juga diberi kesempatan untuk field trip ke Klaten, dapat uang pesangon, melakukan peliputan dan membuat karya akhir. Di akhir program, kami diwisuda dan dinobatkan sebagai blogger nutrisi Indonesia. Saat itu acara dihadiri oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, salah satu direktur Kementerian Kesehatan dan para petinggi Danone Indonesia. Satu hal yang membahagiakan lagi adalah tugas akhir kami dibukukan. Dream Come True. Mimpi saya terwujud.

Sampul buku "Gizi Penopang Bangsa" yang ditulis oleh 40 blogger nutrisi.
Sampul buku “Gizi Penopang Bangsa” yang ditulis oleh 40 blogger nutrisi.

Buku itu di-launching pada 22 Desember 2018. Judulnya, “Gizi Penopang Negeri.” Di dalam buku ada 40 karya akhir alumni DBA 1 dan DBA 2. Buku dibagi menjadi empat bab: Air dan Kehidupan; Makanan Tak Kalah Penting; Gizi untuk Kesehatan; Kita dan Lingkungan Hidup. Tulisan saya ada di bab 3 dan mengusung tema tentang pernikahan dini dan gizi buruk di Provinsi Banten.

Di Indonesia, masih banyak orang yang menikah di usia yang cukup muda. Media sosial saat ini menjamur isu “mending nikah daripada zina”, tapi tidak diimbangin dengan pengetahuan soal membangun rumah tangga yang baik. Hal itu yang membuat saya tertarik dan bersemangat untuk menulisnya.

Saat ini memang hanya buku kolaborasi. Namun ia mampu menjadi pelecut untuk menerbitkan buku solo pertama saya. Karena saya yakin, pada akhirnya manusia bisa menjadi dirinya sendiri kok. Suatu hari saya pasti akan menjadi penulis hebat.

Terima kasih 2018, karena kamu telah memberi saya banyak kejutan. Berhasil keluar dari jeratan “rutinitas harian” yang membosankan, menjadi seorang freelancer, kuliah magister dan menerbitkan buku.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2 thoughts on “Kejutan Manis di Penghujung Tahun: Menerbitkan Buku”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *