Hidup di Jakarta sebenarnya tak pernah masuk ke dalam impian saya saat kecil. Meski saya pernah terkagum – kagum dengan kerlap – kerlip lampu Jakarta saat menuju Kediri sekitar 11 tahun lalu. Lampung, tanah kelahiran saya akan tetap menjadi pilihan tempat tinggal terbaik karena dekat dengan keluarga.

Hingga suatu hari, saya menemukan novel bagus di sebuah toko buku di Kediri. Buku itu karangan Ahmad Fuadi, dengan judul Negeri 5 Menara. Saya beli dengan harga sangat murah. Kalau tak salah ingat, sekitar Rp25 ribu. Tentu saja buku bajakan, tapi tak mengurangi kualitas ceritanya.

Dalam buku itu, Ahmad Fuadi menceritakan tentang hidup seorang anak bernama Alif. Ia berasal dari tanah minang, Sumatera Barat. Usai tamat dari sekolahnya di bangku menengah pertama, ia dikirim ke Pondok Madani, sebuah pesantren di Ponorogo, Jawa Timur. Alif dan semua murid di pesantren itu harus bangun Subuh untuk beribadah dan belajar. Persis yang saya lakukan setiap hari saat di Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur. Sholat berjamaah, setelahnya menghafal puluhan kosakata bahasa Inggris.

Sontak, buku itu memberi saya semangat untuk belajar. Mantra Man Jadda Wajada yang diajarkan Ustad Salman, tak hanya menambah semangat dan kegigihan Alif, tapi juga saya untuk menaklukan dunia, serta menggapai cita – cita.

Cerita Alif ternyata bukan fiksi semata. Ini merupakan kisah hidup sang penulis. Ia juga seorang mantan wartawan nasional. Pernah mendapatkan banyak beasiswa untuk belajar di luar negeri. Di tengah gempuran cibiran orang – orang sekitar, khususnya keluarga ketika mereka mengetahui impian saya, karya – karya Ahmad Fuadi menjadi motivasi luar biasa. Untuk terus maju dan pantang menyerah.  

Ada satu kutipan buku Negeri 5 Menara yang sangat bagus. Kata – kata ini yang kemudian mengantarkan saya kepada Ibukota.

Merantaulah …
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah …
Kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu  tak ubahnya seperti kayu biasa Jika di dalam hutan

Ranah 3 Warna

Saya sangat senang ketika Ahmad Fuadi meluncukan buku barunya dengan judul Ranah 3 Warna. Kali ini saya membelinya di toko buku resmi di Jakarta. Setelah sekian tahun menjadi bacaan yang telah banyak mengubah hidup saya, buku itu akhirnya difilmkan.

Film Ranah 3 Warna diperankan oleh sederetan aktris dan aktor muda. Mereka adalah Arbani Yasiz, Amanda Rawles, dan Teuku Rassya. Adapun selebritis papan atas lainnya seperti Lukman Sardi, Maudy Koesnaedi, Tanta Ginting, Asri Welas, dan David Chalik juga berperan di sini. Ada juga Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.

Film ini tak berbeda dengan novelnya. Bercerita tentang Alif (Arbani Yasiz) yang ingin pergi ke Amerika. Ia kemudian berkuliah di Universitas Padjajaran (UNPAD), jurusan Hubungan Internasional.

Alif memiliki teman bernama Randai (Teuku Rassya) yang sejak kecil sudah menjadi saingannya. Randai juga berkuliah di Bandung, mahasiswa teknik di Institut Teknologi Bandung (ITB). Mereka menyukai gadis yang sama yakni Raisa (Amanda Rawles), mahasiswi Ilmu Komunikasi UNPAD.

Suatu hari, Alif membaca sebuah majalah kampus. Ia tertarik bergabung dan bertemu dengan Bang Togar (Tanta Ginting). Bang Togar dengan sabar membimbing Alif agar bisa menulis dengan baik. Alhasil, tulisan Alif dimuat di majalah tersebut.

Di tengah semangatnya dalam menggapai impian, Alif justru mendapatkan kabar buruk dari rumah. Ia diminta pulang karena ayahnya kritis. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, ayahnya berpesan kepada Alif, “selesaikan apa yang sudah kamu mulai.”

Awalnya Alif berniat tetap tinggal di kampung membantu ibunya yang sudah janda. Alif tak tega bila ibunya harus mengutang demi dirinya. Ibu Alif membujuknya untuk melanjutkan kuliah dan tak mengkhawatirkan soal biaya. Terlebih ayahnya juga berharap besar kepada anak sulungnya itu.

Alif pun kembali ke Bandung dan mulai mencari jalan agar bisa membiayai kuliahnya sendiri. Ia berjualan kain minang dan mulai jarang berkuliah. Ketika Alif sudah mengumpulkan banyak uang dari usahanya itu, ia justru kerampokan. Alif sangat sedih. Ia merasa sudah bersungguh – sungguh dalam berikhtiar tapi selalu mendapatkan rintangan.

Raisa yang mendengar kabar Alif kerampokan segera menjenguknya di indekos. Di sana Raisa membujuk Alif untuk bisa melanjutkan kuliahnya kembali. “Kalau ibu kamu mau kamu bekerja, ia tak mungkin rela kamu berkuliah di sini.” Saat Alif memperbaiki sepatunya, Pak Anto (tukang sol) menasihatinya, “Sabar itu bukan pasif tapi aktif. Aktif mencari solusi, aktif pantang menyerah.”

Ia kemudian bergegas mengambil mantra Man Jadda Wajada dan Man Shabara Zhafira yang pernah ia buang. Alif menyadari untuk menjadi sukses, tidak hanya dibutuhkan kesungguhan, kerja keras tapi juga kesabaran.

Alif kemudian bergegas ke kampus untuk bertemu Bang Togar. Di markas, Bang Togar memberinya sepucuk surat dari ayahnya. Di dalam surat itu, ayah Alif memohon kepada Bang Togar untuk membimbing anak sulungnya itu menjadi penulis hebat. Alif tertunduk, menangis. Ia kembali menulis dan menulis, sampai karya – karyanya banyak dimuat di surat kabar. Alif pun mendapatkan honor yang bisa mencukupi biaya kuliahnya.

Suatu hari, Alif mengikuti seleksi program pertukaran pelajar ke Kanada. Raisa, Rusdi dan Memet juga ikut. Untuk bisa lolos ke Kanada, mereka harus melewati berbagai tes seperti bahasa Inggris, bakat dan minat. Alif terancam tak lolos, lantaran gagal ketika tes bakat dan minat. Melihat Randai menemui Raisa, Alif terbakar emosi. Ia bergegas kembali ke ruang tes. Ia mengatakan bila tidak memiliki bakat di seni, namun ia bisa menulis. Dengan menulis ia bisa mengharumkan nama Indonesia. “Literasi dan ide adalah ukuran peradaban maju, yang harusnya kita tunjukan pada dunia.”

Karena itu, Alif dinyatakan lolos seleksi. Raisa dan sahabatnya Rusdi juga lolos.

Ketika menuju Kanada, pesawat yang mereka tumpangi transit di Yordania. Di sana mereka menginap di kedutaan Indonesia. Tak disangka, Alif bertemu dengan Ustad Salman. Ia kemudian diajak Ustad Salman mengantarkan bantuan ke kamp pengungsian warga Palestina.

Singkat cerita, rombongan kemudian mendarat di Kanada. Semua peserta mendapat tugas magang di sebuah instansi atau lembaga. Alif mendapat tempat magang yang di luar ekspetasinya. Di sebuah peternakan. Alif akan bertugas membersihkan kandang, memberi makan dan menggembala Sapi. Alif marah dan menceritakan ini kepada Raisa. Ia menyerah dan ingin pulang. Mendengar niat ini, Raisa marah kepada Alif. “Hati kamu itu ciut. Saking ciutnya sampai lupa bersyukur sama apa yang kamu dapetin selama ini.”

Alif kembali merenung. Ia membuka kembali artikel – artikel yang pernah ditulisnya. Ia baru menyadari, ternyata pemilik peternakan adalah Morgan Rivers, mantan prajurit yang sedang menghadapi masalah. Peternakan itu, satu – satunya mata pencahariannya terancam disita Bank. Alif kemudian mengerti, bukan suatu kebetulan ia ditugaskan bekerja di peternakan. Ia mulai bersemangat dan melakukan berbagai hal untuk membantu Morgan.

Namun ada kabar baik dari perusahaan, tempat Raisa bekerja. Alif ternyata seharusnya bekerja di stasiun televisi itu. Meski begitu, Alif tetap mau meneruskan magang di peternakan. Ia kemudian menyampaikan idenya untuk mewancarai Morgan. Ide Alif disambut baik. Bahkan hasil wawancara dengan Morgan mendapat respon yang sangat baik dari penonton.

Karena pencapaian itu, Raisa dan Alif mendapatkan penghargaan dalam program pertukaran pelajar Kanada.

Hingga suatu hari, Alif dan Raisa lulus kuliah. Usai upacara kelulusannya, ia berniat menyampaikan perasaanya yang selama ini dipendam. Sayangnya, ketika hendak menyampaikan kepada Raisa, Randai datang dan menyampaikan bahwa mereka sudah tunangan. Randai dan Raisa akan segera menikah, setelah itu tinggal di Jepang.

Hati Alif hancur. Tapi ia ingat dengan mantra ini, Man Shabara Zhafira, siapa yang bersabar akan beruntung.

Film ini ditutup dengan hadirnya seorang perempuan berhijab. “Ayo bang kita harus ke kantor VOA.” Perempuan itu adalah istri Alif. Mereka sedang berada di Amerika.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *