Batak. Salah satu suku di Indonesia ini telah menarik perhatian saya sejak kemunculan film serial Induk Gajah 2 pada Agustus lalu. Serial garapan Muhadkly Acho ini menceritakan bagaimana hidup perempuan Batak di tengah budaya patriarki.

Sontak, ketika saya mendapatkan informasi mengenai Wedding Batak Exhibition (WBE), saya tertarik untuk hadir. Acara ini digagas oleh IWITA dan digelar di Smesco Convention Hall, Jakarta, pada 7 – 8 September 2024. WBE 2024 menjadi hiburan enjoy Jakarta yang menampilkan ragam kegiatan, mulai dari pameran budaya, fashion show, talk show, konser musik, dan kompetisi make up artis (MUA).

“Acara ini merupakan platform yang dirancang untuk mempertemukan para vendor pernikahan Batak dan nasional dengan calon mempelai, sekaligus memberikan ruang bagi talenta muda untuk menampilkan keterampilan dan kreativitas mereka dalam fashion, musik, dan tarian tradisional Batak,” kata Project Director WBE 2024 Martha Simanjuntak.

“Batak untuk Indonesia” menjadi tagline yang menggema dalam acara ini, menegaskan bahwa budaya Batak sebagai wonderfull Indonesia tidak hanya relevan bagi masyarakat Batak sendiri, namun juga mampu memberikan inspirasi dan nilai – nilai yang dapat diapresiasi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

WBE 2024 semakin menarik ketika memasuki sesi talk show bertajuk “Harta, Tahta, dan Wanita” pada 7 September 2024. Bincang – bincang bersama Ibu Ina Rachman S.H., M.Hum, Managing Partner Maestro Patent International itu mengungkap sisi gelap mengenai budaya Batak, khususnya pada perempuan Batak. Ibu Ina mengatakan di dalam budaya Batak, perempuan tidak mendapatkan warisan.

Meski begitu, perempuan Batak masih bisa mendapatkan warisan, terutama bagi mereka yang beragama Islam. Sementara untuk perempuan Batak non muslim, masih bisa mendapatkan harta dari orang tuanya, dalam hal ini disebut dengan hadiah.

“Di dalam Islam, anak perempuan masih bisa mendapatkan warisan. Tinggal bagaimana keluarga mau menerapkan sistem yang mana. Mau berdasarkan adat Batak atau secara hukum Islam,” katanya.

Dari segi tahta, lanjut Ibu Ina, laki – laki Batak lebih mendominasi dibandingkan perempuannya. Tak sedikit perempuan Batak juga tidak memiliki kesempatan untuk berkarir dan hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Akan tetapi, bukan berarti budaya Batak buruk. Apalagi budaya ini sudah diterapkan secara turun temurun.

“Semua tergantung dari kita. Mau menerima atau tidak,” kata Ibu Ina.

Kendati demikian, Ibu Ina berpendapat bila ada permasalahan tidak bisa diselesaikan dengan budaya saja. Apalagi Indonesia adalah negara hukum. Ibu Ina dengan tegas menolak dengan ucapan “selesaikan saja dengan adat”.

“Mau apapun budayanya, apapun adat istiadatnya, di Indonesia ini masih berlaku hukum. Apapun masalahnya tidak bisa dilanjutkan secara adat, tapi harus berdasarkan hukum,” ucapnya.

Ibu Ina sendiri merupakan seorang pemimpin bisnis berpengalaman. Ia memiliki pengalaman kerja lebih dari 20 tahun di industri penjualan langsung. Ini juga merupakan pendiri Maestro Law Office, salah satu firma hukum korporat yang disegani.

Pendekatan pragmatis dan ketajaman bisnisnya yang kuat, membuat Ina dipercayaa oleh rekan-rekan industri untuk mewakili kepentingan mereka di berbagai Asosiasi Perdagangan dan Industri.

Dia juga memiliki reputasi yang luar biasa sebagai pendidik lepas untuk pengawas pegawai negeri sipil (PPNS), Departemen Perlindungan Konsumen dan Ketertiban Usaha (PTKN), Departemen Perdagangan dan Departemen Penyidik ​​Kriminal Indonesia (Bareskrim Polri) serta menjadi advokat untuk perlindungan Hak Perempuan dan Anak.

Ina Rachman telah meraih prestasi yang sangat terhormat sebagai sekretaris jenderal APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia). Asosiasi ini diakui di industri karena berperan penting dalam mengamankan regulasi yang menguntungkan dan mendapatkan dukungan dari Pemerintah Indonesia pada berbagai isu penting.  []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *