Melihat banyaknya orang yang bermimpi pindah ke luar negeri karena cerita-cerita indah di media sosial, aku jadi ingin berbagi sedikit perspektif. Karena seringkali, rumput tetangga memang tampak lebih hijau… sampai kita benar-benar menginjak tanahnya.
Kemarin malam, aku berbincang secara online lewat Instagram dengan dosen pembimbingku saat S2. Beliau tengah berada di Singapura, menjadi pembicara di National University of Singapore. Obrolan kami mengalir ke banyak hal, termasuk soal fakta-fakta menarik tentang kesenjangan di sana.
Beliau bercerita, dalam dunia riset, perbedaan pendanaan di Singapura dan Indonesia begitu mencolok. Di Singapura, satu proyek riset bisa didanai hingga 20 juta dollar Singapura. Kalau dikonversikan, itu sekitar 240 miliar rupiah. Bandingkan dengan Indonesia, di mana satu proyek riset biasanya hanya mendapatkan dana 50 juta rupiah. Jauh sekali.
Melihat angka sebesar itu, tak heran bila banyak akademisi memandang Singapura sebagai tempat yang ideal untuk mengembangkan karier. Namun, di balik gemerlapnya dunia riset, kehidupan di Singapura ternyata penuh tantangan, terutama karena biaya hidup yang sangat tinggi. Beliau mengisahkan tentang seorang sopir taksi yang bermimpi pensiun di Malaysia. Bukan tanpa alasan. Harga properti di Singapura begitu tinggi, membuat banyak orang memilih tinggal di negara tetangga yang biaya hidupnya lebih bersahabat. Harga sebuah mobil di Singapura, misalnya, bisa mencapai 70 ribu dollar Singapura. Tapi, untuk bisa mengemudikan mobil itu, masih harus membeli izin khusus seharga 100 ribu dollar Singapura. Total biaya yang luar biasa mahal hanya untuk memiliki dan mengendarai sebuah mobil.
Aku membaca itu sambil mengingat pengalamanku sendiri. Beberapa kali aku berkunjung ke Singapura. Memang, biaya hidup di sana tinggi sekali. Tak hanya karena kurs dollar Singapura yang kuat terhadap rupiah, tetapi juga karena harga kebutuhan sehari-hari, transportasi, dan terutama penginapan, benar-benar mahal.
Untuk menyiasatinya, aku pernah memilih menginap di Bandara Changi — memanfaatkan ruang tunggu 24 jam — atau menyeberang ke Johor Bahru, Malaysia. Di Johor, harga hotel jauh lebih murah. Tapi tentu ada konsekuensinya. Setiap hari, aku harus bolak-balik melintasi perbatasan Singapura-Johor. Aku merasakan sendiri panjangnya antrean di imigrasi dan kemacetan parah, apalagi saat akhir pekan.
Mengapa bisa begitu? Karena bukan hanya warga Malaysia yang pulang ke negaranya, tapi juga warga Singapura yang membanjiri Johor untuk berbelanja dan kulineran. Di Johor, harga makanan, pakaian, hingga kebutuhan rumah tangga jauh lebih murah. Jadi, bagi mereka, menyeberang sebentar adalah cara cerdas untuk menikmati hasil kerja keras.
Kalau berbicara soal biaya hidup, data menunjukkan bahwa rata-rata biaya hidup di Singapura mencapai sekitar 31,1 juta rupiah per bulan. Memang, UMR di sana tinggi, tetapi biaya hidupnya juga sebanding dengan pendapatan yang besar itu. Ini baru soal kebutuhan dasar, belum lagi kalau bicara tentang kesehatan, pendidikan, dan biaya-biaya lain.
Aku teringat pengalamanku saat ke Jepang, negara maju seperti Singapura dengan biaya hidup dan transportasi yang tinggi. Dalam sehari, aku bisa menghabiskan sekitar 200 ribu rupiah hanya untuk perjalanan dalam kota menggunakan kereta. Bahkan, saat aku pergi ke Prefektur Yamanashi — semacam provinsi yang jaraknya cukup jauh dari Tokyo — aku harus mengeluarkan sekitar 500 ribu rupiah hanya untuk satu kali perjalanan.
Tingginya biaya hidup itu membuat Jepang menghadapi masalah serius. Tingkat bunuh diri di negara ini terbilang tinggi. Meskipun ada penurunan sejak 2009, angka bunuh diri tetap tinggi, terutama di kalangan pria, usia produktif, dan pekerja mandiri. Hampir setiap hari, aku mendengar suara ambulans karena kasus bunuh diri.
Jepang juga menghadapi penurunan jumlah penduduk akibat generasi muda yang enggan menikah atau memiliki anak, salah satunya disebabkan oleh tingginya biaya hidup.
Semua pengalaman ini membuatku sering heran ketika melihat banyak orang yang ingin buru-buru “kabur” ke luar negeri, hanya karena melihat cerita-cerita indah di media sosial seperti TikTok. Belakangan ini, bahkan muncul tagar-tagar seperti #kaburajadulu, #kaburdariindonesia, yang makin memperlihatkan tren keinginan pindah ke luar negeri.
Mereka seringkali hanya melihat sisi enaknya saja, tanpa mempertimbangkan realitas biaya hidup yang sebenarnya. Padahal, ada banyak fakta yang seharusnya membuat kita berpikir dua kali.
Seperti kata pepatah, rumput tetangga selalu tampak lebih hijau. Tapi kenyataannya, di balik semua kemajuan itu, ada banyak tekanan dan tantangan yang harus dihadapi. Bahkan, bisa saja orang-orang dari negara lain diam-diam iri dengan kita, yang masih punya banyak kemudahan untuk hidup di Indonesia — meskipun kita juga sering dibuat kesal dengan ulah pemerintah.
Ya begitulah hidup, kadang yang kita punya tak kita syukuri, sementara yang jauh tampak lebih menggiurkan.