Provinsi Lampung ternyata memiliki kualitas sumber daya manusia yang tidak kalah dengan daerah lain. Salah satunya adalah Komarudin, S.T., M.T. Dosen Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Lampung (Unila) ini terpilih menjadi satu dari 24 orang yang dipercaya mengembangkan Worldwide Interoperability for Microwave Access  (Wimax). Bagaimana kisahnya?

***

TUMPUKAN server menutupi pandangan saya saat memasuki Pusat Komputer Unila. Di ruangan itu hanya ada seorang pria bertubuh gemuk. Ia terlihat sibuk meng-entry data di sebuah personal computer yang ada di hadapannya.

Mungkin karena terlalu asyik, pria berkacamata yang tidak lain adalah  Komarudin ini tidak menyadari kedatangan wartawan koran ini. Setelah mengucap salam, pria ramah itu seolah tersadar dan menyambut kedatangan saya yang sebelumnya memang sudah membuat janji.

’’Silakan duduk, Mbak,” ujarnya seraya membenahi kertas-kertas yang memenuhi meja kerjanya.

Tidak lama kemudian, Komar –sapaan akrab Komarudin– mulai bercerita. Dari penuturannya, sudah tiga tahun terakhir ia mendalami program Wimax. Program ini adalah sebuah terobosan dalam bidang internet. Di mana, pengguna program ini dimungkinkan mengakses internet tanpa memerlukan jaringan kabel yang rumit. ’’Ya, seperti WiFi (wireless fidelity). Tetapi, ini lebih dahsyat,” paparnya setengah berpromosi.

Menurutnya, teknologi ini menggabungkan dua keunggulan mobilitas telepon seluler dan WiFi dengan kapasitas lebih besar serta jangkauan lebih jauh. Jika WiFi hanya memiliki jangkauan terbatas –biasanya sekitar 100 atau paling jauh 200 meter, Wimax bisa menjangkau hingga radius 20–30 kilometer.

’’Bayangkan saja jika teknologi ini dipasang di Unila, maka seluruh masyarakat Bandarlampung, termasuk daerah-daerah terpencil, bisa menikmatinya secara gratis,” tuturnya antusias.

Bapak empat anak itu mengatakan, teknologi Wimax sebenarnya sudah dikembangkan di beberapa negara maju. ’’Jika kita tidak dari sekarang terlibat, mungkin teknologi itu hanya akan digunakan perusahaan swasta yang notabene berorientasi profit semata,” pungkasnya

’’Karena itu, pemerintah Indonesia merasa perlu ikut mengembangkannya. Pemerintah menunjuk 24 orang dari berbagai profesi. Saya satu-satunya dari Unila,” imbuhnya sembari mengawasi jaringan internet Unila.

Dijelaskan, dosen yang terpilih menjadi tim pengembang Wimax Indonesia berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), dan Unila sendiri.

Menurut Komar, pengembangan teknologi Wimax ini sebenarnya sudah dimulai sejak tiga tahun silam. Namun, untuk lebih mendalami teknologi itu, ia bersama 23 rekannya yang lain dikirim ke Amerika selama enam bulan dari Januari–Juni 2010.

Di sana, mereka serius mempelajari Wimax 80216.E. ’’Itu lebih spesial lagi. Kalau yang kita kembangkan untuk diterapkan di Indonesia adalah Wimax tipe 80216 D. Wimax jenis ini bisa diatur dan disinergikan dengan WiFi,” jelasnya.

Dari pendidikan itu, Komar mengetahui kelebihan lain yang dimiliki Wimax. Teknologi ini dapat menembus gunung atau tembok. Kemampuan ini biasa dikenal dengan sebutan NLOST (non line off sight).

’’Program ini menggunakan field programmable gate array (FPGA) untuk bahasa pemrograman dan very high speed integrated circuit hardware description language (VHDL) untuk perangkat kerasnya. Program ini kemudian dikemas dalam bentuk chip,” terangnya.

Tidak hanya itu. Wimax juga tak cuma dipakai untuk komputer, tetapi juga mampu diterapkan di teknologi telepon seluler melalui program GPRS.

Bila teknologi ini sudah dapat diterapkan di Indonesia, daerah-daerah yang sulit untuk menerima sambungan internet akan mampu terjangkau. Teknologi ini juga diperkirakan bisa menjadi teknologi yang murah. Sebab, semua orang dapat mengaksesnya tanpa membayar.

’’Mungkin memang bisa menyaingi WiFi. Tetapi jika disinergikan, tidak akan mematikan WiFi begitu saja,” ujar pria yang juga menjabat koordinator BBS Unila Net.

Dirinya berharap beberapa tahun mendatang, teknologi ini sudah dapat dipasarkan di Indonesia dan mampu mencukupi kebutuhan teknologi yang diperlukan masyarakat.

’’Kemungkinan pada 2012, teknologi ini dipatenkan. Harapannya, setelah dipatenkan, teknologi ini dapat dikembangkan dan diterapkan di Indonesia sehingga semua masyarakat dapat menikmatinya secara murah,” tuturnya.

  • Terbit pada 19 Januari 2011 di Koran Harian Radar Lampung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *