Universitas Lampung (Unila) kedatangan empat mahasiswa asing dari tiga negara. Mereka adalah Safarina Sov dari Kamboja, Met Chandara dari Kamboja, Tayuko Matsumura dari Jepang, dan Tahidan Jahari Andry Aina R. dari Madagaskar. Apa tujuan mereka datang dan bagaimana kisahnya?
Senin pagi (11/4) di lantai 3 rektorat Universitas Lampung, ada sesosok lelaki muda hitam berpostur tinggi besar duduk di sebuah ruangan sempit yang diketahui sebagai ruang kerja sama Unila. Pemuda itu duduk di depan komputer sambil membuka-buka internet.
Melihat kedatangan saya, dia langsung mempersilakan masuk. Rupanya dia sudah menunggu kedatangan saya. ’’Yang lain tidak bisa datang karena mereka ada kelas hari ini (kemarin),” katanya sembari mempersilakan saya untuk duduk.
Setelah itu, dia memperkenalkan diri dan menceritakan latar belakang dirinya kuliah di Unila. ’’Nama saya Tahidan Jahari Andry Aina R. dari Madagaskar,’’ ujar pemuda kelahiran 2 Februari 1988 ini.
Andre–panggilan akrabnya– mengatakan, sebenarnya dirinya masih menjadi mahasiswa fakultas hukum di salah satu universitas di Madagaskar. Dia mengambil jurusan relasi internasional.
Kemudian pada 2008 ada tawaran beasiswa Darma Bangsa dari KBRI di Madagaskar. Andry kemudian tertarik dan langung mendaftar. Pada saat itu, ada tiga mahasiswa yang mendaftar. Rupanya dari hasil tes, Andry-lah yang mendapatkan nilai tertiinggi. Sehingga berhak mendapatkan beasiswa ini.
’’Saya tertarik dengan Indonesia karena saya ingin belajar bahasa Indonesia dan bekerja di KBRI yang ada di Madagaskar,’’ ujarnya.
Andry mengaku mengenal Indonesia dari internet. Yang ia tahu, Indonesia terkenal sebagai negara yang kaya akan budayanya dan masyarakatnya yang ramah. ’’Kemudian sestelah diterima, saya diberi pembekalan selama tiga bulan. Tetapi pada saat itu saya masih belum bisa. Bahasa Inggris juga tidak terlalu bisa. Jadi saya memakai bahasa tangan,’’ ujarnya.
Setelah itu, Andry memilih Unila sebagai perguruan tinggi yang ia tuju. Sebab dari cerita mahasiswa Madagaskar yang sebelumnya juga kuliah di Unila, Lampung adalah provinsi yang sangat nyaman. ’’Yang saya peroleh waktu itu adalah Lampung terkenal dengan biaya hidupnya yang murah. Ternyata benar. Di sini membeli apa yang saya mau sangat murah,’’ ujar dia.
Tetapi sayangnya, makanan di Lampung masih dirasa belum cocok dengan lidahnya yang menyukai makanan dengan rasa asam. ’’Saya kuliah di Jurusan Bahasa dan Seni FKIP Unila,’’ tukasnya.
Andry menuturkan kehidupan di Lampung sangat enak. Sayangnya, masyarakat Lampung terlalu ingin tahu dengan sesuatu yang menjadi privasinya. Dan dia tidak suka.
’’Saya tidak suka banyak orang yang tanya tentang saya. Andry kamu sudah makan. Saya jawab sudah. Tetapi dia tanya lagi, makannya pakai apa, kapan, sama siapa. Saya paling tidak suka itu. Saya tidak nyaman,” tukasnya.
Yang paling tidak disukainya lagi adalah kebiasaan masyarakat Lampung yang tidak tepat waktu ketika berjanji. ’’Kalau melakukan janji dengan teman, janjinya jam 7, tetapi datangnya jam 9,’’ tuturnya.
Meski demikian, Andry mengaku betah tinggal di Lampung. Sebab, kondisi Lampung yang sangat nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. ’’Saya ingin tinggal di Lampung. Saya suka dengan pantainya. Orang-orangnya juga ramah,’’ ujar dia.
Andry kini sedang serius belajar puisi Lampung. Sebab rencananya saat perpisahan nanti, tepatnya pada September, dirinya ingin menampilkan baca puisi Lampung di KBRI Jakarta.
***
Keesokan harinya saya berhasil bertemu dua mahasiswa lainnya. Yakni Safarina Sov dari Kamboja dan Tayuko Matsumura dari Jepang. Sayangnya hanya Safarina sajalah yang bersedia di wawancarai. Sedangkan Tayuko enggan dipublikasikan. “Tayuko tidak mau dipublikasikan. Ini bukan negaranya. Jadi dia tidak berani” ujar wanita yang suka sekali menari ini.
Sayapun memakluminya. Kemudian saya diajaknya ke gedung tua tempatnya dia biasa berlatih menari. “Saya latihan nari singgeh penguten dulu ya. Saya sudah janji dengan teman-teman,” katanya yang mengaku sangat suka sekali dengan budaya Lampung ini.
Kurang lebih satu jam saya menyaksikannya menari tari tradisonal Lampung itu. Safarina begitu mahir dan gemulai dalam menarikannya. Ditambah dengan paras Asia-nya, menjadikan Safarina seperti bukan orang asing.
Setelah selesai, obrolan itupun terjadi. Lagi-lagi Safarina mengatakan hal yang sama. Yakni bahwa dirinya merasa tidak nyaman dengan kebiasaan masyarakat Lampung yang ingin tahu ini-itu tentang privasinya. ’’Teman yang lain juga seperti itu. Mereka tidak suka dengan orang Indonesia yang tanya ini-itu,” ujar gadis kelahiran Phanomph, Kamboja, 13 Maret 1992 ini.
Kemudian Safarina menceritakan dirinya datang ke Indonesia pada 2009. ’’Sebenarnya saya sudah tahu Indonesia sejak sekolah. Bahkan ayah saya juga mengkursusukan saya di KBRI. Dari situ saya tertarik dengan Indonesia. Saya sih maunya kuliah di Jakarta karena hampir sama dengan Kamboja. Tapi saya mendapatkan jatah kuliah di Unila. Akhirnya pada September 2009 saya datang,” ujar dia.
Safarina sendiri mendapatkan jatah kuliah hanya selama satu tahun. Akan tetapi karena dirinya merasa betah, sehingga dia memperpanjang kuliahnya. “Saya merasa Bahasa Indonesia saya kurang dan sulit bagi saya uinutuk berpisah dengan teman-teman. Jadi saya putuskan untuk memperpanjang,” katanya sembari mengatakan setelah selesai melanjutkan studi di Unila ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi di Pulau Jawa.