Gunung Bromo, Batok dan Semeru tampak dari Bukit Penanjakan.
Gunung Bromo, Batok dan Semeru tampak dari Bukit Penanjakan.

Menginjak bulan kedua di Kampung Inggris, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi Gunung Bromo, Air Terjun Coban Rondo, dan Batu Night Spectacular (BNS) di Malang. Bersama teman-teman kursus Lembaga Kursus The Eminence, aku berangkat tengah malam menggunakan elf.

Menjejak Gunung Bromo

Gunung Bromo terletak di empat kawasan kabupaten di propinsi Jawa Timur yang meliputi, Probolinggo, Lumajang, Malang dan Pasuruan. Dari Kediri lebih mudah di akses lewat Probolinggo. Maka malam itu kami menuju Probolinggo melewati Jombang.

Beruntung malam itu sangat cerah. Rembulan menampakan sinarnya dan ribuan bintang menari-nari. Aku duduk paling depan bersama teman asal Sumbawa yang aku lupa namanya kini.

Jalanan aspal yang sangat baik membuat perjalanan ini terasa nyaman. Kamipun terlelap tidur hingga tiga jam lamanya. Tak terasa pukul 3 pagi kami sudah sampai di kawasan Gunung Bromo.

Untuk menuju Gunung Bromo, kami harus melintasi hutan yang sangat lebat dengan pepohonan yang tumbuh tinggi menjulang. Jalan aspal yang sempit menjulur dari pintu masuk Gunung Bromo hingga Desa Tengger.

Akhirnya setelah melewati jalan yang meliuk-liuk dengan jurang disisi kiri, akhirnya pukul 4 pagi kami tiba di Desa Tengger. Tengger pagi itu masih tampak sepi dan aroma dingin mulai terasa.

Mr. Dino, founder The eminence sekaligus penanggung jawab trip kali ini memerintahkan kami untuk keluar dari elf. Karena dua mobil pick up telah datang menjemput kami. Kemudian mobil-mobil dengan bak terbuka ini akan mengantarkan kami ke Bukit Penanjakan untuk melihat sunrise.

Saat keluar dari elf, teman-teman berteriak histeris karena udara yang begitu dingin menusuk hingga ke tulang. Seorang teman memberiku saran untuk tidak keluar sebelum mengenakan jaket dan sarung tangan.

282224_1939353728885_7760640_n
Bukit Penanjakan Gunung Bromo

Di luar, penjual sarung tangan mulai berdatangan. Begitu juga dengan orang-orang yang menyewakan jaket. Jaket yang mereka tebal-tebal sekali seperti jaket yang kerap digunakan oleh warga negara dengan musim dingin. Aku memilih untuk tidak menyewa, meski jaketku tipis tak sehangat jaket-jaket itu.

Rasa dingin itu membuatku ingin kembali ke elf. Tapi bintang-bintang yang bertaburan menahanku untuk tetap bertahan di luar dan tanpa berpikir panjang langsung melangkah menuju mobil pick up. Mr. Dino sudah berteriak-teriak kepada kami untuk segera naik pick up. Kali ini kami dibagi menjadi dua kelompok.

Sepanjang perjalanan menuju Bukit Penanjakan teman-temanku menggerutu karena dingin. Sedangkan aku entah mengapa menyukainya. Aku sungguh menikmati udara dingin, bintang yang bertaburan dan hutan lebat yang kulihat di sisi kanan kiri pagi itu. Bintang jatuh berkali-kali kulihat melintas, diam-diam hati berdoa memohon sesuatu.

Tiba di kawasan bukit penanjakan, kedai-kedai kopi berjajar ramai sekali. Pemilik tampak bahagia melihat kedatangan kami dan menyapa kami dengan ramahnya sembari menawarkan singgah ke kedainya menyeruput kopi buatan mereka. Tapi rombongan tak mengindahkan karena kami harus segera ke penanjakan melihat sunrise.

Saat hendak menuju ke bukit, terlebih dahulu kami melewati anak tangga yang jumlahnya tak terlalu banyak namun cukup membuat nafas kami tersengal-sengal. Sampai di bukit, kami terpisah satu sama lain. Rupanya puluhan orang sudah memadati bukit. Aku bersama dua temanku, Kiki da Ata berdiri di atas bangku paling belakang.

268214_1939361689084_1722351_n
Melihat Sunrise di Bukit Penanjakan bersama Kiki.

Pukul setengah lima, langit bromo berwarna orange membentuk siluet yang membentang diufuk timur. Perlahan matahari menampakkan diri. Puluhan orang bertepuk tangan menyambutnya dengan suka cita. Aku pun menyambutnya dengan ungkapan tasbih berkali-kali. Sungguh indah Bromo pagi itu. Saat matahari semakin naik ke atas, Bromo yang berselimut awan tampak jelas terlihat dari bukit. Disitulah aku pertama kalinya melihat keindahan Indonesia yang tidak bisa dibandingkan dengan negara manapun. Aku bangga lahir dan dibesarkan disini, Indonesia.

Seorang bapak tiba-tiba menghampiriku. Dirinya membawa bunga edelweiss yang begitu cantik dan menawarkannya padaku. Sayangnya, saat itu aku tidak membawa uang cukup untuk membeli bunga edelweiss yang oleh si bapak dijual seharga Rp. 15 ribu. Meskipun aku tak membeli, si bapak tetap ramah dan aku terlibat percakapan yang begitu asik dengan si bapak. “Bunga edelweissnya cantik. Bapak ambil bunga edelweiss itu dimana ?,” tanyaku pada si Bapak. “Di belakang Gunung Bromo dek, disana terhampar bunga edelweiss,” jawab si Bapak sambil menunjuk Gunung Bromo. “Kalau itu Gunung Bromo, lalu gunung yang tinggi itu apa pak?,” tanyaku lagi. “Oh .. itu Gunung Semeru, nah di antara Gunung Bromo dan Gunung Semeru itu saya dapatkan bunga ini,” jawabnya. “Oh .. itu Semeru .. tempat Gie meninggal. Gie .. suatu hari aku pasti kesana,” gumanku.

Menuju Malang

Kami tak sempat ke pasir berbisik dan mendaki Gunung Bromo karena hari sudah siang. Sedangkan kita harus segera menuju ke Malang. Masih ada dua tempat yang harus dikunjungi. Air Terjun Coban Rondo dan BNS.

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *