Dengan hati terbuka, perjalanan akan membawa seseorang menyongsong pertemuan, persahabatan, dan persaudaraan. Disitu, sekat-sekat yang memisahkan manusia satu dengan lainnya diluruhkan.

Begitu kereta tiba di Stasiun Bogor, aku segera turun dan melangkah dengan cepat mencari keberadaan sahabatku, Uis, yang sudah menungguku sejak 30 menit lamanya. Uis bersama dengan temannya menungguku di pintu keluar stasiun. Mereka melambaikan tangan ketika ragaku terlihat dari kejauhan. Tak lama kami akhirnya bertemu, saling memandang, bersalaman melepas kerinduan, lalu berpelukan.

“Yus, kenalkan ini Mb Ute. Dia dari Bogor. Nanti yang akan mengantarkan kita,” ujar Uis setelah melepas pelukannya. “Halo, kenalkan Ute. Udah sering ngetrip sama Uis,” sapa Mb Ute hangat. Kehangatan itu ditambah lagi ketika Mb Ute menawariku tahu goreng yang ia beli dari pedagang yang tak jauh dari tempat kami berdiri.

Aku sendiri mengenal Uis saat aku melakukan pendakian ke Gunung Rinjani pada Mei 2014 lalu. Saat itu kita tidur dalam satu tenda dengannya dan keakraban itupun terjadi.

Tak lama, satu lagi sahabat Uis pun tiba. Dia adalah Riri, gadis tomboy asal Medan. Riri kala itu juga membawa dua temannya, Bayu dan Mimi. Mereka adalah teman sejak kuliah ketika di Jogja dulu. Bayu asli Jogja, sedangkan Mimi dari Ternate.

Menuju Parahayangan

Mb Ute mengajak kami berjalan sekitar dua meter menjauh dari stasiun. Melihat kami berjalan rombongan membuat para sopir angkutan umum berebut menawarkan kami untuk naik ke angkutan yang mereka kemudikan. Angkutan umum jurusan Terminal Laladon-Sukasari, bernomor dua menghampiri kami. Menurut Mb Ute, kalau mau ke Parahayangan kita naik angkutan ini terlebih dahulu lalu berhenti di Bogor Trade Mall (BTM). Disambung dengan angkutan jurusan Ciapus bernomor tiga, angkutan inilah yang akan membawa kami ke Pure Parahayangan Agung Jagatkarta.

Pure Parahayangan Jagatkarta ini sendiri terletak di kaki Gunung Salak, di Desa Ciapus, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Pure ini menjadi pure terbesar kedua setelah Bali. Tak heran jika menyimak gambar di google, suasananya serupa dengan Bali.

Di dalam angkutan umum menuju Pure Perahayangan
Di dalam angkutan umum menuju Pure Perahayangan

Kami berenam memutuskan untuk segera naik ke angkutan yang kami jumpai tadi. Mengingat jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Diperkirakan kita akan sampai di Pure sekitar pukul 12 siang.

Selama di perjalanan kami saling berkenalan lebih dalam. Baru beberapa menit yang lalu kami saling mengenal rasanya seperti sudah lama.

Ketertarikan akan hal yang sama yakni travelling meluruhkan sekat-sekat diantara kita. Bagaimanapun latar belakangnya, kami tak peduli.

Pukul 12 siang kami benar-benar tiba di kawasan Pure. Hawa sejuk yang terpancar dari Gunung Salak, membuat matahari terik tak terasa panas. Benar-benar asri. Pohon-pohon tumbuh lebat di antara rumah-rumah penduduk. Gunung Salak menjulang sedikit tertutup kabut tipis. Pure siang itu tampak ramai.

“Maaf mb, tak bisa berkunjung ke dalam. Karena kami sedang ada upacara,” kata penjaga Pure saat itu. Kami kecewa. Ditambah rasa lapar yang kami rasakan sejak di perjalanan menuju Pure. Bayu dengan sigap menuju warung terdekat untuk mengisi perutnya dengan indomie. Sedangkan aku, Mb Ute, Riri, Uis dan Mimi berfoto bersama melepas rasa kecewa yang menghinggap.

Dari kiri: Riri, Mimi, Uis, dan Aku berfoto bersama di pintu masuk Pure Parahayangan Agung Jagatkarta. Terlihat Gunung Salak dibelakang kami
Dari kiri: Riri, Mimi, Uis, dan Aku berfoto bersama di pintu masuk Pure Parahayangan Agung Jagatkarta. Terlihat Gunung Salak dibelakang kami

Pelan-pelan rasa kecewa itu hilang. Ketika Mimi dan Bayu mengajak kami untuk mencicipi makanan khas Bali yang dijajakkan di salah satu warung dekat Pure. Rupanya disana dijual daging babi. Karena aku dan Uis muslim kami memutuskan untuk makan siang di tempat lain.

Pure kecil milik warga
Tak bis berfoto di Pure Parahayangan berfoto di Pure kecil milik warga pun jadi

Menunggu mereka makan siang, maka aku dan Uis berjalan-jalan sekitar warung. Tak jauh dari warung tersebut terdapat pure kecil. Dari Pure kecil tersebut akan tembus ke Pure Parahayangan. Setelah mengobrol dengan warga disana, rupanya kami tetap boleh masuk Pure dengan syarat memakai sarung yang biasa dipakai oleh umat hindu untuk berdoa. Riri yang tahu hal ini segera mengejak Mb Ute untuk masuk. Sedangkan aku dan Uis hanya berpuas berfoto di depan pure kecil tadi.

Dimanapun Berada, Indomie Makanannya

Jalanan menuju Pure tampak ramai dengan orang-orang yang hendak melakukan sembayang. Lalu lalang motor seketika membuat bising. Tapi tak satupun angkutan umum yang lewat. Membuat kami terpaksa harus jalan kaki. Rencananya kami akan ke Kampung Budaya Sindang Barang yang terletak di Jl. E. Sumawijaya, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Tak jauh dari Pure Parahayangan.

Baru beberapa menit kaki melangkah, suara dalam perutku dan Uis saling bersahutan. Kami pun memutuskan untuk sejenak berhenti di sebuah warung untuk makan. Warung dengan material bambu itu menjajakan roti, kopi, teh, air mineral dan makanan-makanan cepat saji seperti Indomie. Aku, Uis, Mb Ute, dan Riri memesan Indomie rasa ayam bawang dengan cabai dan telur sebagai pelengkap.

Jalinan persahabatan yang takkan terlupa
Jalinan persahabatan yang takkan terlupa

Menunggu Indomie matang, kami kembali berfoto bersama. Sebab suasana sekitar warung tersebut masih sangat alami. Riri mengeluarkan kamera SLR nya. Lalu memasang timer agar kami berenam bisa berfoto bersama. Seru sekali. Momen berharga menjalin persahabatan yang tak terlupa.

15 menit kemudian, Indomie yang kami pesan matang. Kami pun dengan lahap memakannya bersama di sebuah saung. Rintik-rintik hujan yang turun bersamaan dengan itu menambah nafsu kami untuk menyantap mie helai demi helai.

DImanapun, kapanpun, dengan siapapun, Indomie makanannya
Dimanapun, kapanpun, dengan siapapun, Indomie makanannya

Nikmat sekali Indomie siang itu. Jadi ingat masa-masa kuliah dulu. Aku sering makan Indomie untuk menekan pengeluaran. Sekarang, meskipun sudah bekerja dan memiliki pendapatan sendiri, hasrat untuk makan Indomie tak terpatahkan juga. Kesimpulannya,

dimanapun, kapanpun, dengan siapapun akan selalu tepat makan Indomie.

Cukup Sepasang Kaki yang Berani untuk Melangkah

Kami harus berjalan kaki sekitar satu kilo meter untuk menemukan jalan raya. Jalanan yang menurun disandingi dengan candaan teman-teman membuat lelah itu tak kami rasakan. Tak terasa kami sudah sampai juga di tepi jalan raya. Kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkutan umum nomor tiga lagi untuk menuju destinasi selanjutnya. Kampung Budaya Sindang Barang.

Kampung Sindang Barang menjadi tempat wisata untuk keluarga. Disana kita bisa belajar tentang budaya dan sejarah Bogor, seperti Nundur, Angklung Gubrag, serta situs purbakala peninggalan kerajaan Pajajaran berupa punden berundak dan batu-batu sejarah.

P1050313

Pukul 2. 30 siang kita sampai di Desa Pasir Eurih. Sayangnya, angkutan umum yang kami tumpangi tak mau mengantarkan kami sampai dengan Kampung Budaya ini. Kamipun memutuskan untuk berjalan kaki. Jalanan menuju Kampung Sindang Barang menanjak. Kami yang sudah kelelahan beberapa kali berhenti untuk mengambil nafas sejenak. Di kanan-kiri kami sawah terbentang luas. Sekitar 30 menit kemudian kita sampai juga.

Kami tiba pukul 3 sore. Kampung Sindang barang sore itu tampak ramai oleh anak-anak yang bermain bola di pelataran rumah adat. Seorang bapak tua menghampiri kami. Saya lupa namanya, tapi bapak tua itu adalah penjaga Kampung Sindang Barang. Menurutnya kampung ini akan ditutup pada pukul 4 sore. Kami hanya punya waktu satu jam saja. Bapak tua itu juga menginformasikan ada uang kebersihan yang harus dibayar. Setelah berdiskusi bersama, masing-masing kami iuran sebesar Rp. 10 ribu. Artinya kami membayar uang kebersihan sebesar Rp. 60 ribu.

Waktu singkat yang diberikan ini tak kami siakan. Didampingi oleh bapak tua tadi kami pun berkeliling. Kampung Sindang barang ternyata luas. Selain rumah adat dan lumbung padi, disana juga terdapat penginapan, kolam ikan, dan sawah.

Penginapan d Kampung Sindang Barang
Penginapan d Kampung Sindang Barang

Waktu terus berdetak. Tak terasa jarum jam sudah di angka empat. Kami meminta tambahan waktu kepada bapak tadi untuk mengambil foto sebentar. Bersyukur permintaan kami dikabulkan.

Foto bersama di depan rumah adat dan lumbung padi
Foto bersama di depan rumah adat dan lumbung padi
Kompak tanpa Bayu
Kompak tanpa Bayu
Bahagia itu kami yang menciptakan
Bahagia itu kami yang menciptakan

Langit sudah mulai gelap. Saatnya kami pulang. Terlalu singkat memang. Tapi rumah telah menunggu kami untuk melepas lelah dan menceritakan petualangan seru kami hari itu.

Pure Parahayangan dan Kampung Sindang Barang yang kami kunjungi kali ini memang bukanlah tempat wisata yang istemewa bagi kebanyakan orang. Tapi bagi kami yang mencintai travelling, tempat ini tetaplah istimewa.

Tak perlu jauh-jauh pergi, banyak tempat yang sebenarnya bisa kita explore bersama sahabat. Tak butuh uang banyak, hanya kaki yang berani buat melangkah yang sebenarnya kita butuhkan.

Karena kita, kami, kamu, aku hanya butuh kaki yang berani buat melangkah
Karena kita, kami, kamu, aku hanya butuh kaki yang berani buat melangkah

Sumber: http://www.kp-sindangbarang.com/statis-5-profilumum.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *