daftar-harga-bbm-oktober-2018-pertamina

Akan selalu ada imbas dari kenaikan harga BBM, salah satunya adalah meroketnya harga bahan-bahan pokok.

Pagi tadi pukul 10.30, saya baru selesai sarapan ketika Fadli Zon berkicau di media sosial. Lewat akun twitternya @fadlizon, wakil ketua DPR itu mengkritik kebijakan pemerintah soal kenaikan BBM.

“NAIK NAIK BBM NAIK TINGGI TINGGI SEKALI NAIK NAIK LISTRIKPUN NAIK TINGGI TINGGI SEKALI NAIK NAIK PAJAK PUN NAIK TINGGI TINGGI SEKALI KIRI KANAN KULIHAT SAJA BANYAK RAKYAT SENGSARA 2x #2019GantiPresiden #2019PrabowoSandiMenang”

Benar saja, 30 menit kemudian PT Pertamina mengumumkan harga BBM dalam negeri mengalami kenaikan harga. Untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, harga Pertamax naik Rp9000 menjadi Rp10.400 per liter, Pertamax Turbo Rp12.250 per liter, Pertamina Dex Rp11.850 per liter, Dexlite Rp10.500 per liter dan Biosolar Non PSO Rp9.800 per liter.

Menteri ESDM Ignasius Jonan menyatakan kenaikan harga BBM non-subsidi merupakan dampak dari harga minyak mentah dunia yang terus meningkat. “Harga minyak dunia saat ini rata-rata tembus di level 80 dolar AS per barel,” katanya.

Kabarnya pemerintah juga akan menaikkan harga BBM premium paling lambat pukul 18.00, namun nyatanya sampai malam ini kenaikan belum terjadi. Pemerintah berdalih, belum siapnya PT Pertamina menjadi faktor utama ditundanya kenaikan BBM Premium.

Rencananya kenaikan harga Premium di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) menjadi Rp7000 dan di luar Jamali menjadi Rp6.900.

Karena berita itu, twitter hari ini mendadak ramai dengan tagar #BBMnaiklagi. Warganet mengeluhkan kenaikan BBM yang terjadi secara tiba-tiba dan khwatir akan memicu kenaikan harga makanan dan kebutuhan pokok lainnya.

Saya jadi teringat dengan tragedi Mei 1998. Mahasiswa, buruh, dan masyarakat di berbagai daerah melakukan aksi unjuk rasa penolakan terhadap kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh Presiden Soeharto. Kenaikan BBM dianggap akan mempersulit rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Saat itu saya masih SD. Orang tua saya guru yang memiliki lima anak. Gaji guru saat itu tidak besar seperti sekarang, walaupun sudah PNS. Keluarga kami pun terkena imbasnya dari kenaikan BBM. “Mangane seeneke wae yo. Opo-opo saiki larang. Sing penting wetenge wareg (Makannya seadanya saja ya. Apa-apa sekarang mahal. Yang penting perutnya kenyang),” ujar bapak saat saya kecil dulu.

Jadi kalau badan saya pendek mungkin akibat kekurangan gizi karena mahalnya harga-harga bahan pokok, tapi tidak diimbangi dengan besarnya penghasilan.

Bicara soal gizi, Sabtu dan Minggu (29-30/9/2018) dan Sabtu (6/10/2018) saya mengikuti Danone Blogger Academy di Kantor Pusat Danone, Gedung Cyber 2, Jalan Rasuna Said, Jakarta. Akademi yang diselenggarakan oleh Danone bekerjasama dengan Kompasiana tersebut bertujuan memberikan pengayaan kepada 20 blogger terpilih seputar bidang nutrisi dan kesehatan  demi terciptanya konten kesehatan ala warga yang berkualitas. Kami mendapatkan materi dari sejumlah akademisi, praktisi, dan profesional. Salah satu di antara mereka adalah Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Ir. Doddy Izwardi, MA.

IMG_6483
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Ir. Doddy Izwardi, MA sedang memaparkan status gizi Indonesia saat ini. Foto: dok. Danone Blogger Academy 2018.

Doddy mengungkapkan berdasarkan penelitian Kemenkes mengenai tren status gizi balita di Indonesia dari 2014 hingga 2017, masalah gizi masyarakat seperti underweight (kekurangan gizi), stunting dan wasting (kurus) masih berada di luar ambang batas. Yang terparah adalah kasus stunting yang pada 2017 mengalami kenaikan dari yang sebelumnya 27.5 % menjadi 29.6 % .

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak lebih pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal kehidupan setelah lahir, tetapi baru tertampak setelah anak berusia dua tahun. Stunting berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunkan produktifitas, menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan serta kesenjangan.

Meskipun begitu, fisik yang pendek bukan berarti stunting. Ada banyak orang dengan tubuh pendek memiliki IQ yang tinggi seperti Habibie, Einstein dan Jusuf Kalla. “Jadi bukan karena pendek badannya tapi otaknya,” ujar Doddy.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan stunting, yaitu praktik pengasuhan yang tidak baik, terbatasnya layanan kesehatan, kurangnya akses ke makanan bergizi, minimnya akses air bersih dan sanitasi.

Oktober tahun lalu, saya pernah mengunjungi Desa Lebak, Banten. Kebetulan saya tergabung di Komunitas TurunTangan, yang pada saat itu sedang mengadakan program Gerakan Banten Mengajar (GBM) di Kabupaten Lebak dan Pandeglang. Masih jelas diingatan ini, masyarakat desa Lebak hidup dalam kesederhanaan dan berdampingan. Tanah yang subur, pohon yang lebat dan sawah membentang di mana-mana, menyelipkan rasa iri di hati, “alangkah beruntungnya mereka.” Rasa itu kemudian sirna saat saya mengetahui angka pernikahan usia dini, putusnya sekolah, dan kemiskinan di desa tersebut cukup tinggi. Masyarakat juga memiliki kebiasan mandi dan cuci di sungai  serta Buang Air Besar (BAB) di sembarang tempat. Akibatnya, anak-anak rentan terserang penyakit seperti diare dan flu. Penyebabnya tak lain lagi kalau bukan rendahnya edukasi masyarakat tentang kesehatan, nutrisi dan pernikahan usia dini.

Doddy berpendapat selama ini orang Indonesia asal menikah saja. Hanya ijab kabul, bersenang-senang dalam pesta, melakukan hubungan suami istri, tapi tidak memikirkan bagaimana membesarkan anak, “pokoknya go ahead aja, tahunya nanti aja belakangan!”

Seharusnya sebelum menikah, baik laki-laki maupun perempuan memeriksakan dirinya ke dokter. Apakah mereka kekurangan gizi atau tidak? Menderita anemia atau tidak? Khususnya perempuan yang akan mengandung bayi, karena pembentukan semua cikal bakal organ tubuh terjadi pada delapan minggu pertama sejak pembuahan terjadi.  Setelah itu perkembangan penting sebagian organ berlanjut sampai dua tahun pertama kehidupan.

Stunting terjadi sejak bayi masih dalam kandungan, sebab pembentukan cikal bakal organ tubuh terjadi 8 minggu pertama sejak pembuahan.

Tak hanya mengonsumsi mikronutrien, para ibu seharusnya juga mengonsumsi banyak makronutrien –  nutrisi yang menyediakan energi bagi tubuh – seperti karbohidrat dan protein. Jika selama kehamilan kebutuhan nutrisi itu tidak tercukupi maka stunting bisa saja terjadi.

Dokter spesialis anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr. Klara Yuliarti, SpA (K), mengamini pernyataan Doddy. Pada anak balita stunting maupun gizi kurang, asupan protein hewani terutama susu dan olahannya lebih rendah dibandingkan anak balita dengan status gizi baik.

Jadi bagaimana jika kenaikan BBM berdampak pada melejitnya harga bahan pokok dan makanan? Mungkin lagu berjudul Galang Rambu Anarki karya Iwan Fals memang benar. “BBM naik tinggi, susu tak terbeli. Orang pintar tarik subsidi, mungkin bayi kurang gizi.”

Jangankan daging dan susu, membeli beras saja mungkin berat bagi rakyat. Imbasnya pada aspek kesehatan yang kurang baik: anak-anak kekurangan gizi.

#DBA2018 #AKADEMIMENULISDBA2018

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *