Anemia. Dulu waktu SMP saya pernah menderita penyakit ini. Kata dokter sih begitu. Suatu hari saya pusing, mual dan lemas. Ibu membawa saya ke klinik terdekat. Setelah diperiksa, dokter bilang kalau saya menderita anemia.
Dokter menyuruh saya makan enak. Konsumsi daging, kerang, ikan, dan hati. Sebab, makanan – makanan tersebut kaya zat besi yang dibutuhkan tubuh.
Anemia menjadi penyakit yang biasa diderita bagi remaja di kampung saya. Suatu desa kecil yang terletak di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.
Kakak perempuan dan beberapa teman – teman saya juga menderita anemia. Wajar saja, yang namanya di kampung, makan seadanya sudah membudaya. Apa yang ada di sekitar rumah, itu yang kami makan.
Saya jarang makan telur dan ayam. Bagi keluarga kami, dua makanan itu adalah kemewahan. Harganya mahal. Untuk melengkapi nutrisi harian kami hanya makan nasi, sayur, dan sambal. Lauknya tahu, tempe atau kerupuk saja.
Itu saja sudah membuat keluarga kami bahagia. “Mangan orak mangan sing penting ngumpul.”
Semboyan itulah yang membuat kami tak peduli dengan apa yang kami makan. Bergizi atau tidak. Apa dampaknya nanti. Yang penting kenyang.
Kami tak menyadari, hal itulah yang membuat saya, kakak perempuan dan ibu saya menderita anemia.
Kami anggap remeh. Ternyata penyakit ini berbahaya. Khususnya bagi perempuan sebagai calon ibu yang akan melahirkan generasi bangsa ini.
Mata saya terbuka lebar sejak rutin mengikuti seminar daring Danone Indonesia. Perusahaan yang memproduksi makanan dan minuman ini memang konsisten mengedukasi masyarakat tentang pentingnya gizi bagi anak dan remaja Indonesia.
Kali ini Danone Indonesia mengangkat tema “Peran Nutrisi dalam Tantangan Kesehatan Lintas Generasi”. Disebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami beban permasalahan nutrisi tiga rangkap: gizi kurang, obesitas, dan defisiensi mikronutrien.
Padahal kekurangan zat gizi mikro (mikronutrien) dapat menyebabkan penurunan status gizi dan gangguan kesehatan seperti anemia.
“Saat ini masalah gizi masih menjadi tantangan bagi bangsa kita. Indonesia mengalami triple burden yaitu tingginya angka stunting, juga masih adanya malnutrisi atau wasting. Kemudian kita juga masih ada masalah nutrisi yang berlebihan atau obesitas,” ungkap Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia Nutrition Association, Dr. dr. Diana Sunardi, MGizi, SpGK dalam seminar tersebut, Kamis (28 Januari 2021).
Oleh sebab itu, lanjut Diana, untuk menyelesaikannya harus berkesinambungan. Pemerintah harus menyiapkan program berkelanjutan.
“Salah satu yang masih menjadi masalah juga yakni defisiensi mikronutrien atau vitamin dan mineral. Salah satu mineral yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah zat besi yang menyebabkan anemia,” tuturnya.
Anemia adalah suatu kondisi rendahnya kadar Hemoglobin (Hb) dibandingkan dengan kadar normal, yang menunjukkan kurangnya jumlah sel darah merah yang bersirkulasi.
Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi anemia di Indonesia di atas 20 persen. Rata di semua rentang usia dan jenis kelamin. Bahkan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Matraman Jakarta menunjukkan sekitar 27,3 persen bayi berusia 4 – 12 bulan menderita anemia.
Distribusi anemia defisiensi zat besi pada bayi umur 4- 8 bulan adalah 26,7 persen. Sementara pada bayi usia 8-12 bulan mencapai 73,3 persen.
Angkanya tinggi sekali.
Proporsi anemia pada ibu hamil juga tak kalah besarnya. Setiap tahun mengalami peningkatan. Jika pada 2013 proporsi hanya sebesar 37,1 persen, sementara pada 2018 mencapai 48, 9 persen. Kasus anemia tertinggi pada ibu hamil dengan rentang usia 15 – 24 tahun.
“Masalah gizi di Indonesia ini mulai dari ibu menyusui, bayi, balita, anak sekolah, remaja hingga ibu hamil. Dan yang menjadi perhatian angka pada ibu hamil berkisar 37 persen dan remaja 15 persen. Tentu akan memengaruhi angka malnutrisi yang menjadi perhatian saat ini adalah stunting. Dimana angka stunting di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 27 persen,” kata dr. Diana.
Untuk siklus stunting berawal dari status gizi tidak baik saat remaja putri, sehingga pada saat kehamilannya pun tidak baik. Masalahnya karena anemia atau kekurangan zat besi. Kemudian akan melahirkan bayi – bayi yang kekurangan berat badan. Jika nutrisi saat balita tidak baik akan berisiko mengalami pendek atau stunting.
Pertumbuhan anak dipengaruhi banyak hal, mulai dari proteinnya, vitaminnya, karbohidrat, mineral dan kalsium.
“Jangan lupa, faktor yang sangat penting adalah zat besi. Zat besi ini tidak hanya untuk perkembangan sel – sel darah merah atau hemoglobin tapi juga berpengaruh untuk pertumbuhannya,” tuturnya.
Gejala Anemia dan Dampaknya
Dokter Diana menjelaskan gejala anemia adalah sakit kepala, tekanan darah rendah, kelemahan otot, hingga kulit dan kelopak mata pucat. Apabila anemianya berat, denyut nadi menjadi cepat dan nafasnya juga menjadi cepat. Jika sudah memasuki kronis akan terjadi pembesaran limpa.
Gejala anemia pada ibu hamil ditandai dengan kurang nafsu makan, lesu dan lemah, cepat lelah, sering pusing serta mata berkunang – kunang. “Yang mudah diperhatikan, wajah dan bibir terlihat pucat,” ucapnya.
Dampak dari anemia pada ibu hamil sangat serius. Oleh sebab itu harus menjadi perhatian. Dari meningkatkan terjadinya infeksi, melahirkan bayi prematur, dan pre eklamsia. Selanjutnya gangguan pertumbuhan janin, gangguan fungsi jantung dan perdarahan pasca melahirkan.
Sementara pada anak – anak, gejala anemia berupa rewel, lemas, pusing, dan tidak nafsu makan. Sehingga mengakibatkan gangguan konsentrasi, gangguan pertumbuhan, cenderung mengantuk, dan tidak aktif bergerak.
Dampak jangka panjang anemia adalah berpengaruh pada kebugaran, daya tahan tubuh menurun, dan infeksi berulang kali. Akibatnya prestasi dan kinerja terganggu.
Oleh sebab itu, pemerintah sudah mencanangkan upaya pendekatan masalah kesehatan berkelanjutan tingkat usia. Di antaranya pemeriksaan kehamilan, program ASI esklusif, pelayanan bagi bayi atau balita, pelayanan bagi remaja sekolah. Dan masih banyak lagi.
Penyebab Utama Anemia dan Solusinya
Ternyata penyebab anemia atau kekurangan zat besi yang utama dari asupan makanan. Kedua dari penyakit atau penyebab lain.
Jika dilihat berdasarkan riskesdas Indonesia, konsumsi asupan makanan di Indonesia masih didominasi oleh nabati. Asupan energi dan proteinnya pun rendah. Sehingga Indonesia mendapatkan adanya defisit energi, protein, dan mikronutrien.
Setelah ditelaah, masalah tersebut disebabkan oleh asupan zat besi yang rendah, terutama besi heme; asupan vitamin C yang rendah; konsumsi sumber fitat yang berlebihan; konsumsi sumber tanin (kopi dan teh) yang berlebihan; dan menjalankan diet yang tidak seimbang.
Bicara soal diet, saya jadi teringat dengan seorang teman. Beberapa minggu lalu saya mengobrol dengannya. Sejak kuliah ia menderita anemia. Penyebabnya karena jarang makan untuk jaga badan.
Karena anemia sekarang jadi tak nafsu makan. Gampang sakit dan bolak – balik ke dokter. “Punya anemia tuh enggak enak banget. Olahraga dan lari enggak bisa, soalnya langsung pusing dan mual. Capek dikit udah tepar,” ungkap teman.
Memiliki badan layaknya grup girl band asal Korea, Blackpink memang menjadi idaman bagi semua remaja putri. Dipandang enak, pakai baju apa saja cocok. Bergaya di depan kamera pun jadi pede.
Satu – satunya cara untuk seperti itu adalah dengan diet. Tapi seringnya diet yang dilakukan salah. Remaja putri Indonesia mengurangi konsumsi karbohidrat bahkan tidak makan nasi sama sekali. Akhirnya berdampak pada anemia.
Untuk mencegah terjadinya anemia, tentunya kita harus makan dengan gizi seimbang. Terutama konsumsi makanan yang kaya zat besi.
Zat besi terdiri dari dua yaitu heme iron dan non-heme iron. Heme iron terkandung pada sumber – sumber protein hewani, sementara non – heme iron terkandung pada sumber – sumber protein nabati.
Penyerapan zat besi heme iron yang berasal dari protein hewani, relatif lebih mudah. Jadi akan langsung diserap oleh tubuh. Berbeda dengan non – heme iron yang harus melewati beberapa tahap untuk diserap oleh tubuh.
Daging sapi, ayam dan domba mengandung heme iron yang sangat tinggi. Tak heran kalau dulu, dokter menyarankan saya untuk makan enak seperti sate dan hati ayam. Ternyata karena itu!
Nah, agar kita terhindar dari anemia, dr. Diana menganjurkan untuk memperhatikan asupan bergizi seimbang. Kementerian Kesehatan sendiri sudah mengeluarkan panduan konsumsi sehari – hari berupa Tumpeng Gizi Seimbang dan Isi Piringku.
Bila asupan didominasi dengan sumber zat besi non – heme, pastikan dikonsumsi bersama dengan unsur yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi.
Selanjutnya fortifikasi makanan (penambahan mikronutrien tambahan) dengan tepung terigu / beras, biskuit dan susu. Terakhir, harus mematuhi konsumsi tablet tambah darah yang diresepkan dokter.
Terkait susu, Danone Indonesia menyediakan produk susu bagi ibu hamil dan susu pertumbuhan bagi balita yang bisa membantu penyerapan zat besi pada tubuh. Dengan konsumsi produk Danone tersebut, ibu hamil dan anak – anak bisa terhindar dari anemia defisiensi besi.